6. Devil

39 4 0
                                    

BAB ENAM

Aku ingin berlari. Menghindari masa lalu yang terus datang mengejar dan menghantui. Tapi sekuat dan selama apapun aku berlari, masa lalu itu selalu berhasil datang menghampiri. Sepertinya memang tak ada lagi tempat untukku bersembunyi.
–Zhevanya Anastasya Bimantara-


Vanya POV

Aku benci dengan keadaanku yang sekarang. Kukira dengan pindah sekolah, semua masalahku akan selesai. Tapi sepertinya hidup tidak semudah itu. Kenapa aku harus terjebak dengan masa lalu yang tiba-tiba muncul lagi setelah dengan sudah payah kuhindari? Ah, tapi  sepertinya aku masih bisa mengatasi ini selama aku mampu melakukannya dengan baik. Persetan dengan pertandingan basket itu! Aku tidak bisa menyalahkan siapa-siapa dalam hal ini. Oke, anggap saja aku harus menerima satu kesialan lagi.
Pertandingan sialan itu berlangsung selama satu minggu full atau enam hari dalam masa sekolah. Dan sekarang sudah berjalan selama tiga hari. Bersabarlah Vanya. Kamu hanya perlu menunggu tiga hari lagi, dan semuanya…. Berakhir. Pertandingan itu akan selesai tiga hari lagi. Tidak apa-apa. Selama ini sugestiku selalu membuahkan hasil. 

Aku bahkan hampir frustasi dengan satu kenyataan yang sudah aku lupakan selama dua tahun ini. Pertandingan itu dilakukan setiap mulai pukul 10 pagi. Dan tentu saja aku harus masuk sekolah, mengikuti mata pelajaran dari jam pertama hingga jam keempat. Rutinitasku selama tiga hari ini : masuk sekolah, mengikuti jam pelajaran, keluar kelas paling dulu saat bel tanda pulang sekolah berbunyi. Aku sedang menghindari masa lalu kalau kalian ingin bertanya. Masa laluku terlalu kelam untuk bisa kubagi dengan siapapun. Jadi aku berusaha untuk menutup rapat-rapat, dan memendamnya dalam-dalam dari ingatanku. Meskipun tidak bisa dipungkiri bahwa setiap malam masa lalu itu selalu berhasil masuk dalam mimpiku.

Jika kalian penasaran, aku tidak pernah menginjakkan kakiku di lapangan tempat acara pertandingan basket diadakan. Kalau kalian ingin mengataiku bodoh, silahkan. Aku tidak keberatan. Tidak peduli sama sekali. Lagipula aku sama sekali tidak tertarik dengan acara itu. Jadi untuk apa aku harus datang menonton dengan resiko badan pegal semua karena harus berdesak-desakan dengan penonton yanag lain? Selain itu, jangan lupakan dengan suara teriakan para supporter setiap tim sekolah masing-masing yang tentu akan membuat telingaku sakit. Aku benar kan?

Karena absenku itu, teman-teman sekelasku banyak yang bertanya kenapa aku tidak pernah ikut menonton dan memberikan semangat untuk para pemain yang ikut pertandingan. Tak terkecuali si Gilang, cowok yang katanya popular –dan aku harus mengakuinya. Dia memang siswa paling terkenal di sekolah ini- itu juga selalu mengangguku dengan pertanyaan dan kehadirannya yang selalu muncul tiba-tiba. Tapi anehnya Gilang tidak bertanya kenapa aku tidak ikut menonton pertandingan itu. Gilang tidak pernah bertanya begitu. Malahan pertanyaannya lebih seperti; Lo baik-baik aja kan? Lo mau pulang? Pulang bareng siapa? Dan pertanyaan-pertanyaan tidak lazim lainnya. Baik, sekarang lupakan tentang Gilang dan sikapnya yang anehnya selalu berhasil membuatku terganggu.

Untuk hari ini, terpaksa aku mampir dulu ke toilet sebelum pulang sekolah karena tadi pagi aku meninggalkan buku paket Biologiku di sana saat aku masuk toilet untuk mencuci tangan. Sebenarnya tidak masalah kalau itu buku milikku sendiri. Hanya saja paket Biologi itu aku pinjam dari perpustakaan sekolah. Jadi kalau sampai hilang, maka tamat riwayatku.

Aku bersyukur karena paket itu masih berada di tempat dimana terakhir kali kutinggalkan. Setelah memasukkan buku tersebut ke dalam tas, aku berbalik dan bertemu dengan orang-orang yang sedang tidak ingin kulihat selama ini.

“Zheva.”
Kakiku terasa lemas mendengar suara itu.

“Astaga… jadi sekarang lo sekolah disini? Ya ampun. Jujur, gue terkejut.” Angel tersenyum senang melihatku. “Lo kenapa, Zhev? Kok pucet gitu? Lo nggak seneng ketemu gue? Aduh, padahal gue seneng banget lho akhirnya bisa ketemu lo.”

“Kok selama pertandingan gue nggak pernah liat lo sih, Zhev?” kali ini giliran Jessica yang berbicara. “Eh tapi, lo nggak jadi tim cheer disini? Serius demi apa? Padahal kan lo jadi ketua di sekolah lo yang lama. Kok sekarang lo nggak menonjol sih?”

Aku hanya diam. Kulihat raut wajah Angel berubah masam mendengar penuturan Jessica. Ah benar! Jessica memang tidak tau apa-apa tentang masalahku dengan Angel. Dan dia selalu mengatakan apapun yang ada di kepalanya. Seperti sekarang ini.

“Mungkin di sekolah ini, si Zheva nggak bisa diterima baik sama murid-murid SMA Pancasila. Makanya sekarang dia cuma jadi murid yang biasa aja. Nggak populer dan menarik perhatian orang lain.” Angel menyeringai senang. Ah, tentu saja dia senang karena bisa menghinaku.

Dan aku tidak sedang dalam mood ingin dihina seperti ini dengan sainganku di SMA yang dulu.

“Sory, gue musti pergi.” Aku segera keluar dari sana dan menulikan telinga ketika suara Angel dan Jessica memanggil. Sungguh aku harus pulang sekarang juga. Aku harus pulang. Pulang. Pulang. Dan…. Ya Tuhan, cabut saja nyawaku sekarang juga!

Aku melihatnya.

Iblis itu di sana.

Berdiri dengan seragam basket kebanggaanya. Iblis itu menyeringai menatapku. Sungguh, aku ingin mati saja.

“Wow.” Suara menakutkan itu terdengar seperti suara kematian bagiku. Dia Thommas. Dan dia adalah iblis yang selama ini berusaha aku hindari. “Siapa yang gue lihat?” aku sangat tau kalau Thommas sedang berjalan ke arahku. Tapi sialan! Aku bahkan tidak bisa menggerakkan kaki untuk segera lari dari tempatku berdiri.

Long time no see, Venus!” dan demi Tuhan, aku benci dengan panggilan itu. “Udah lama banget gue nyari lo. Dan ketika gue putus asa, gue malah ketemu lo disini tanpa sengaja. Tuhan emang beneran baik banget kan sama gue? Dari dulu hingga sekarang.” Dia memelankan suaranya di kaliamt terakhir.

Aku ingin pergi dari sini. Siapapun, tolong!  Tapi sebulir air mataku sudah turun dengan sendirinya.

“Hey, lo nangis? Astaga! Segitu bahagianya lo ketemu gue, sampe lo nangis kayak gini?” Thommas tertawa.

“Jangan ganggu gue.” Oh sial, suaraku benar-benar sepert tikus terjepit. Aku menghembuskan napas pelan,  “Semuanya sudah berakhir. Biarin gue hidup tenang. Kita jalanin hidup kita masing-masing. Gue dengan kehidupan gue yang sekarang, dan lo dengan kehidupan lo yang sekarang.” Aku berbalik, segera pergi dari tempat itu. Tapi baru tiga langkah, Thommas memegang pergelangan tanganku. Aku tau dia hanya memegang ringan, tapi sentuhannya refleks membuatku menjerit. Dan bayangan masa lalu itu langsung berkelebat, muncul di kepalaku. 

“Jangan sentuh gue!” jeritku histeris, mengabaikan tatapan murid-murid yang melihat kami di sekitar situ. Aku panik.  Sungguh  ini bisa membuatku gila. Aku langung berjalan setengah berlari meninggalkan Thommas, lagi-lagi dengan mengabaikan tatapan para murid yang kulewati.

Setelah sampai di parkiran, aku langsung menuju sepedaku. Aku memang mulai pergi ke sekolah dengan mengendarai sepeda sejak dua minggu yang lalu.

“Lo mau lari dari gue, Venus?”

Aku berbalik. Jantungku nyaris copot. Iblis ini mengikutiku sampai parkiran? Aku melihat ke sekeliling dan puji Tuhan. Parkiran ini benar-benar sepi. Ah tentu saja, semua murid pastinya sekarang sedang berada di lapangan belakang.

“Kenapa lo lari dari gue? Dan tadi lo bilang apa?  Jangan ganggu lo?” Thommas tertawa, “Urusan kita belum selesai, kalo lo lupa.”  Lagi-lagi dia memperlihatkan seriangaian iblisnya.

“Nggak. Gue mohon, please Thom. Biarin gue hidup tenang. Gue nggak minta apa-apa dari lo. Cukup lo pergi dari kehidupan gue. Gue mohon.” Pintaku dengan suara serak.

Pandanganku bahkan sudah mulai buram karena air mata yang jatuh membanjiri pipi. Siapapun, tolong aku!

“Sory Venus. Tapi permintaan lo terlalu sulit. Dan gue nggak bisa kabulin.” Thommas berjalan mendekatiku dengan aura menyeramkan. Jangan lagi. Jangan terjadi lagi. Tuhan tolong aku. Siapapun, tolong aku!

“Vanya.” Aku menoleh. Melihat seseorang yang memanggilku. Gilang. Cowok itu berjalan ke arahku dengan raut bingung. Dan aku langsung bernapas lega. Dia disini. Dia akan menolongku. Aku akan baik-baik saja. Ada Gilang. Dia akan melindungiku. Dia pasti akan… dan pandanganku semakin kabur lalu semuanya gelap.

***
Maaf updatenya lama. Butuh referensi...
Semoga suka
Happy reading...

Salam,
Khadevrisaba

Glass BeadOn viuen les histories. Descobreix ara