4. Menemani Pulang

24 4 0
                                    

      Maaf kalau typo bertebaran dimana-mana....

BAB EMPAT

Jika diimajinasikan, ini terlihat seperti sebuah apel yang matang di pohon. Apel itu tidak dipetik dan dibiarkan begitu saja. Tapi hukum alam tidak ada yang bisa mengubah. Apel tersebut akhirnya membusuk, kering, dan jatuh begitu saja di atas tanah tepat di bawahnya. Teori ini sepertinya juga berlaku pada kisahmu.
–Azeral Gilang Fahmi Prasetyo-


Gilang masih setia mendengarkan penjelasan dari rekan OSIS-nya. Cowok itu sesekali mengangguk, memberikan pertanyaan dan beberapa masukan atas apa yang telah disampaikan oleh rekan-rekan OSIS-nya tersebut.

“Jadi karena ini adalah even tahunan dan telah menjadi kegiatan secara turun-temurun, pelaksanaan lomba basket tingkat SMA se Jakarta Bogor tahun ini diadain di sekolah kita. Adapun nama-nama sekolah yang akan menjadi peserta sudah terdaftar sebanyak 126 sekolah. Dan sesuai keputusan tahun lalu, untuk SMA Puji Raja dan SMA Teratai kita tidak memperbolehkan mereka untuk ikut berpartisipasi pada even ini karena kecurangan dan permainan kotor mereka selama tiga tahun berturut-turut. Untuk acara tambahan dan pemilihan koordinator juga telah ditetapkan sesuai dengan apa yang sudah ditulis sekretaris di papan tulis. Jadi untuk pertemuan selanjutnya kita sudah harus mendapat ACC pengajuan kegiatan dan dana, juga memiliki gambaran secara rinci untuk setiap devisi kegiatan.” Reza menjelaskan.

“Jadi gimana? Dari temen-temen ada yang mau bertanya atau ngasih masukan, gue persilahkan.” Gilang membuka suara. “Sepertinya tidak ada. Karena gue rasa penjelasan dari Reza udah sangat rinci dan sederhana. Artinya mulai besok kita bisa langsung kerja sesuai jobdes masing-masing. Segitu aja rapat kita hari ini. Gue tutup, selamat siang.” Dan ana-anak segera keluar dari ruang OSIS untuk pulang ke rumahnya masing-masing.

“Untuk even ini kita masih tetep main kan, Lang?” Putra menepuk pundak Gilang.

“Iya dong. Dan ini adalah pertandingan terakhir kita. Setelah itu, untuk semua urusan basket udah mulai dapegang sama anak kelas sepuluh dan sebelas. Ah dan satu lagi. Ini juga even terakhir kita sebagai anggota pengurus OSIS. Abis acara ini selesai, kita udah dilengserin.”

Putra tergelak mendengar penuturan Gilang, “Kayaknya lo seneng banget mau dilengserin dari jabatan OSIS, Lang.”

“Yaiyalah gue seneng. Emang yang nyuruh dan maksa gue buat jadi ketua OSIS siapa? Kalian semua. Lo juga. Gue mah sebenarnya ogah.” Jawab Gilang sewot. “Yaudah gue balik dulu ya, Za.” Gilang melambai lalu segera pergi menuju parkiran sekolah. Ketika mengendarai mobilnya menuju gerbang sekolah, mata cowok itu melihat sosok Vanya yang berdiri di pinggir jalan. Gilang menghentikan mobilnya lalu membuka kaca mobil itu, “Nungguin siapa?”

Vanya menoleh, “Tukang ojek.” Jawabnya malas. Entah kenapa sejak kejadian beberapa hari lalu membuat Vanya sedikit takut dan curiga dengan Gilang. Lagipula siapa sih yang nggak curiga dengan orang lain yang bahkan baru mengenalmu tapi orang itu sudah banyak tau tentang dirimu. Padahal kau tidak pernah bercerita apa-apa kepada orang tersebut.

“Lo naik ojek?” ada nada terkejut dari Gilang. “Gue anter lo pulang. Masuk gih.”

Vanya memandang wajah Gilang sesaat lalu beralih memaandang sedan hitam yang dikendarai cowok itu, “Enggak usah. Gue bisa pulang sendiri.” Gadis itu akhirnya memilih duduk di kursi panjang di bawah pohon kersen tepat di belakangnya.

Gilang mendengus mendapat penolakan dari cewek ceroboh ini. Tunggu dulu! Cewek ceroboh? Dan sejak kapan dia punya panggilan untuk Vanya? Gilang tidak tau. Vanya memang sering melakukan kesalahan karena kecerobohannya. Jadi jangan salahkan dirinya jika Gilang memanggil Vanya dengan sebutan itu. Gilang akhirnya keluar dari mobil lalu duduk di samping Vanya. Memberikan jarak sepanjang empat jengkal.

“Lo ngapain?” bola mata coklat terang milik Vanya melebar.

“Nungguin lo sampai dijemput tukang ojeknya.” Gilang menjawab santai sambil menyandarkan punggungnya di sandaran kursi.

  “Lo gila! Mendingan lo pulang aja deh. Nggak usah aneh-aneh.”

“Lo tau nggak sih kalo sekarang udah sore. Jalanan sepi dan sore-sore begini itu penjahat pada berkeliaran di tempat sepi kayak gini.” Gilang membuka aplikasi gamenya dan mulai bermain. “Lagian lo darimana aja sih jam segini baru pulang?”

“Kok lo jadi ngatur-ngatur gue? Terserah gue dong, gue pulang jam berapa. Lo aja juga baru pulang sekolah kan?” Vanya menunduk melihat sepatunya yang talinya mau lepas. Cewek itu lalu membungkuk untuk mengikat kembali tali sepatunya. “Lagian, kalo boleh jujur gue sedikit takut sama keberadaan lo di sini. Bisa aja kan penjahat yang lo maksud adalah diri lo sendiri?” ucap gadis itu sinis.

Gilang tak menyahuti ucapan Vanya. Cowok itu masih asyik dan tenggelam dalam dunia bermain gamenya. Hingga sepuluh menit berlalu, ia membuka suara. “Gue baru selesai rapat tadi.” Cowok itu menoleh ke arah Vanya yang ternyata juga sedang menatapnya. “Ngebahas tentang even pertandingan basket se Jakarta-Bogor. Kebetulan sekolah kita tahun ini yang jadi tuan rumahnya.” Dan gilang merasa aneh karena tanpa disuruh, cowok itu menjelaskan dengan senang hati. Ada apa dengan diri gue?

“Jakarta-Bogor?” guman Vanya. Pertanyaan itu diajukan lebih kepada dirinya sendiri.

Gilang bisa melihat perubahan air muka cewek ceroboh yang duduk di sampingnya. Dan raut wajah itu menunjukkan ada sesuatu yang menganggu pikiran Vanya.
Oke, anggap saja kalau Gilang mulai sudah tidak waras. Saat kejadian di atap beberapa minggu lalu, ketika ia memegang tubuh Vanya supaya gadis itu tidak jatuh. Mulai saat itulah tanpa sadar Gilang sering kali berpikiran ingin melakukan kontak fisik dengan murid baru tersebut. Tidak ada niat buruk dengan keinginan Gilang. Cowok itu hanya ingin tau apa yang sedang dirasakan atau sedang dialami oleh Vanya. Ini lebih terlihat seperti rasa penasaran terhadap kehidupan cewek cantik merangkap imut itu.

Dan kenapa gue musti penasaran sama lo sih?

Vanya menoleh saat mendengar ponsel Gilang berdering. Gilang merogoh benda pipih itu dan melihat nama yang tertera di layar ponselnya. Kak Arini is calling…

“Kenapa kak?”

“Gilang dimana? Bisa ke kampus nggak jemput kakak?” suara seorang perembuan di seberang sana.

“Emang mas Aji nggak bisa jemput?”

“Aji lagi sibuk di rumah sakit. Ada operasi dadakan. Bisa ya, Lang. kakak tunggu.”

“Bisa sih Kak. Tapi agak lama. Soalnya aku lagi ada urusan sekarang.” Gilang melirik Vanya sekilas dan melihat ada kerutan bingung di dahi gadis itu. “Nanti kalo udah kelar aku langsung kesana. Tapi kalo kakak buru-buru ya mending naik taksi aja sih, Kak.”

“Enggak. Kakak nggak buru-buru kok. Kakak nungguin kamu aja. Yaudah Lang, kakak tutup ya telfonnya.” Kemudian sambungan telepon terputus.

Tepat saat itu ojek yang dipesan Vanya sudah datang. Tanpa sadar Gilang tersenyum lega ketika melihat bahwa tukang ojeknya adalah seorang perempuan. Berarti aman. Gue nggak perlu cemas. Dan Gilang langsung mengernyit saat menyadari pikirannya sendiri. Ngapain gue musti cemas? Gila aja!
Vanya langsung menghampiri ojek itu, memakai helm, dan tanpa bilang apa-apa pada Gilang, gadis itu langsung pergi meninggalkan Gilang yang duduk membeku di kursinya. Dengusan kasar keluar dari mulut Gilang. Cewek kayak gitu ngapain harus dicemasin? Buang-buang tenaga aja! 

***
Jangan lupa vommentnya kuy...

Salam,
Khadevrisaba

Glass BeadWhere stories live. Discover now