30. Universitas Cambridge

12 5 0
                                    

BAB TIGA PULUH

Kepada kamu, seseorang yang telah lancang menjungkirbalikkan perasaanku. Aku bersumpah akan kembali dan membalas dendam nanti.

-Azeral Gilang Fahmi Prasetyo-



Malamnya Gilang kembali tidak bisa tidur. Kali ini pikirannya semakin bertambah kusut. Jika sebelumnya ia menghabiskan tiap malamnya dengan memikirkan Vanya, maka sekarang ada lagi satu hal yang memenuhi kepala cowok itu. Undangan resmi dari Universitas Cambridge. Menjadi seorang arsitek adalah impiannya sejak ia masih berusia tujuh tahun.

Dan karena itulah, sejak kecil Gilang rajin membaca buku tentang dunia arsitek. Orangtua Gilang juga mendukung sepenuhnya impian laki-laki tersebut. Sang ayah bahkan tidak tanggung-tanggung, selalu membelikannya buku pengetahuan dunia arsitek kepada anak bungsunya jika pulang dari luar kota.

Gilang juga sering diajak ayahnya mengunjungi kota-kota dengan bangunan unik dan megah, memberikan pengetahuan secara nyata bagaimana bangunan itu berdiri. Meski sebelumnya mendapat penolakan oleh kedua kakaknya, karena Bagas ingin sekali menjadikan Gilang seorang polisi sepertinya. Atau Arini yang ngotot menyuruh adiknya menjadi dokter, karena menurutnya dokter adalah pekerjaan paling keren dan elegant -meski pada akhirnya bukannya sang adik mau belajar ilmu kedokteran, malah Arini sendiri yang menikah dengan seorang dokter- dengan membujuknya hampir setiap hari.

Tapi semua usaha kedua kakaknya gagal karena kebulatan tekad Gilang yang tetap ingin menjadi seorang Arsitek. Maka, baik Arini maupun Bagas tidak bisa lagi memaksa. Bahkan, tidak banyak yang tahu kalau sebenarnya rumah yang dihuni Bagas adalah hasil karya adik bungsunya. Gilang sendiri dulu yang merancang bangunan hingga interiornya. Semua itu adalah idenya Gilang. Dan karena melihat kemampuan sang adik pula, menjadikan Bagas akhirnya menyerah dan merestui impian luar biasa tersebut.

Gilang menoleh dari kertas undangan itu ketika mendengar pintu kamarnya diketuk. Arman Prasetyo muncul dari balik pintu. Masuk dan duduk di kursi belajar cowok itu. Melihat sang ayah memasuki kamarnya, membuat Gilang sedikit gugup. Ini pasti ada sesuatu yang penting, yang akan dibicarakan sanga ayah kepadanya. Pasalnya, Arman memang sangat jarang masuk ke dalam kamarnya jika tidak benar-benar ada keperluan. Maka demi melihat ayahnya duduk di kursi belajarnya, Gilang juga segera duduk dari posisi tidur telentangnya.

"Belum tidur?" Arman bertanya dengan sebelumnya menatap jam beker yang ada di meja belajar si bungsu.

Gilang menggeleng, "Nggak bisa tidur, Yah."

"Kata bunda, kamu sedang ada masalah?"

Gilang menegang.

"Masalah cewek?"

Gilang hanya diam. Haruskah bundanya bercerita pada sang Ayah?

"Namanya Zhevanya? Anak semata wayang pasangan Haris dan Kamila Bimantara?" Arman kembali bertanya.

Darimana ayahnya bisa tau? Bahkan bundanya saja tidak tau orang tua Vanya.

"Haris itu rekan kerja Ayah." Arman seolah mengerti kebingungan putranya. "Kami bersahabat dari SMA. Ayah adalah pengacara keluarganya."

Gilang mengerjap kaget, terlalu shock dengan fakta yang ada. Dunia benar-benar sempit. Ini seriusan?

"Ayah sering bertemu Haris dan Kamila. Malah tak jarang Ayah harus terbang ke Sulawesi untuk mengurus masalah perusahaan mereka. Selama ini mereka selalu meminta bantuan Ayah hanya terkait masalah pekerjaan. Tapi tadi siang, Ayah dipanggil ke rumah mereka untuk mengurus suatu hal." Arman menatap bungsunya tegas. Mambuat Gilang meneguk ludah.

Glass BeadWhere stories live. Discover now