18. Bertemu Kak Bagas

20 2 0
                                    

BAB DELAPAN BELAS

Teks eksplanasi itu isinya tentang fenomena alam dan fenomena sosial. Fenomena hatiku yang serasa diterjang badai perhatianmu pun, kukira juga termasuk dalam teks eksplanasi.

-Zhevanya Anastasya Bimantara-


Gilang meneguk air mineral dalam botol 600ml hingga tandas. Deru napasnya masih terdengar ngos-ngosan. Di hari Minggu pagi yang mendung ini dia sudah melakukan push up seratus lima puluh kali, sit up seratus lima puluh kali, dan lari keliling lapangan sebanyak lima belas kali. Keringat membanjiri dahi, pelipis, dan lehernya. Rambut dan kaus yang dikenakan cowok itu bahkan tampak basah oleh keringat.

Gilang bersandar pada pembatas lapangan komplek sambil memejamkan mata. Merasakan setiap denyut darah yang mengalir naik ke otaknya.

Cowok itu lelah tentu saja. Tapi Gilang tidak bisa melakukan apa-apa selain menuruti dan melakukan hukuman yang diberikan oleh kakak tertuanya karena telah melakukan kesalahan minggu lalu. Berkelahi. Ya, Bagas menghukum Gilang dengan melakukan olahraga yang biasa dilakukan oleh adiknya itu tiga kali lebih banyak dari biasanya. Dan hukuman itu berjalan selama satu bulan. Kalian dengar, satu bulan!

“Jadi bagaimana? Mau mengulang kesalahan lagi?” suara berat kakaknya terdengar.

Gilang menoleh lalu menerima handuk kecil yang diberikan oleh Bagas padanya. Cowok itu lantas menggeleng sebagai jawaban.

“Berkali-kali kakak pikirkan, kakak tetap aja nggak percaya kalo kamu sudah mulai berani berkelahi.” Bagas menatap tajam adiknya. Meneliti wajah Gilang yang sudah sempurna seperti sedia kala. Luka cowok itu sudah sembuh begitu pula dengan bekasnya.

“Aku hanya melakukan pembelaan.”

Mata Bagas memicing, seolah mengintrogasi terdakwa kasus pembunuhan. Membuat Gilang menelan ludah gugup.

“Kamu melawan teman sekolahmu sendiri?”

Gilang menggeleng, “Mereka anak SMA Garuda.”

Bagas mengernyit, “Mereka dari Bandung?” ia melihat adiknya mengangguk sekilas, “Berapa banyak?”

“Empat.”

“Empat?” Suara Bagas meninggi, “Kamu hanya melawan empat anak tapi sudah mendapat warna biru di wajahmu?” Ada nada kecewa dan meremehkan dalam suara sang kakak.

Gilang hanya meringis.

“Berapa banyak luka yang mereka dapat?”

“Salah satu dari mereka ada yang pingsan, anak kedua sepertinya mengalami cedera di bagian bahu, yang ketiga bibir dan alisnya sobek, yang terakhir kakinya pincang. Mungkin karena terkilir.” Gilang cepat menambahkan.

Bagas mengangguk-angguk, “Bagus, meskipun kamu juga mendapat luka, tapi tidak begitu memalukan karena kamu sudah berhasil mencederai para cecenguk itu.” Kali ini Gilang mendengar ada nada bangga dari suara kakaknya.

Dia melukai empat orang katanya bagus? Kadang-kadang kakaknya memang sedikit aneh.

“Jadi pacarmu itu akan datang ke rumah?”

“Dia bukan pacarku.”

“Ya ya, jadi calon pacarmu akan ke rumah?”

Gilang memutar bola matanya, malas berdebat dengan polisi sok tegas, meskipun sebenarnya memang sangat tegas, dan sialnya polisi itu adalah kakak kandungnya. Cowok itu melihat jam tangannya, “Kalo dia beneran akan datang, berarti sekarang seharusnya dia sudah ada di rumah.”

Glass BeadWhere stories live. Discover now