31. Penyelesaian

16 4 0
                                    

BAB TIGA PULUH SATU

Yang kutahu, waktu terus berjalan. Dan dia semakin cepat mengejarku tanpa belas kasihan.

-Zhevanya Anastasya Bimantara-

Ini adalah hari Senin yang kedua kalinya yang ditunggu-tunggu Gilang kedatangannya. Senin pertama adalah saat cowok itu pertama kali masuk sekolah TK. Dan ini adalah Senin kedua, saat ia menunggu kembalinya Vanya ke sekolah.

Tante Kamila sudah mengatakan sebelumnya kalau gadis cengeng itu akan masuk sekolah hari Senin. Tentu saja informasi ini berhasil membuat Gilang senang. Ia bahkan langsung berkata akan menawarkan untuk menjemput gadis itu berangkat sekolah, tapi Kamila menolak dengan alasan Vanya masih belum mau menemui cowok tersebut. Akhirnya Gilang harus menyetujui keputusan Kamila, membiarkan Vanya berangkat sekolah diantar oleh papanya.

Gilang memarkirkan mobilnya di tempat parkir dan berjalan menyusuri koridor kelas sepuluh menuju kelasnya sendiri. Beberapa kali ia harus menghentikan langkah saat  melewati beberapa murid yang sedang membicarakan sesuatu. Gilang bukanlah tipe orang yang suka ikut campur dan menguping obrolan orang. Tapi kakinya mengharuskan untuk berhenti melangkah tatkala telinga cowok itu mendengar nama Vanya disebut-sebut.

Ada yang tidak beres. Itu adalah pemikiran pertama cowok tersebut. Gilang tidak cuma sekali saja mendengar nama Vanya disebutkan. Tapi beberapa kali. Sejak ia melangkahkan kakinya di koridor kelas sepuluh. Bahkan tidak hanya siswi perempuan saja yang membicarakan Vanya, tapi juga laki-laki.

Ketika akan melangkah menghampiri gerombolan murid tersebut, Gilang menoleh saat mendengar seseorang memanggil namanya.

"Ikut gue sekarang." Andre sudah ada di depannya dan berjalan cepat menaiki tangga sekolah menuju atap.

Meski bingung, tapi Gilang tetap mengikuti langkah kaki sahabatnya.

"Ada berita buruk." Air muka Andre tampak serius. "Kabar tentang masa lalu Vanya terbongkar."

Gilang mematung di tempatnya berdiri. Dia tidak salah dengar kan? Bagaimana bisa?

"Ini udah nyebar di penjuru SMA Pancasila. Kita harus melakukan sesuatu. Kita harus meredakan gosip sialan ini sebelum Vanya denger. Untungnya si Vanya masih belum masuk sekolah."

Wajah Gilang langsung pucat, "Dia masuk sekolah hari ini." Gumam Gilang pelan. Tapi masih bisa didengar oleh Andre.

"Ini buruk banget."

"Lo udah lihat dia di kelas?"

Andre menggeleng. Keduanya saling menatap. Satu detik, dua detik, tiga detik.... Dan detik keempat mereka berlari menuruni tangga menuju kelas. Mengabaikan tatapan para murid yang melihat tingkah keduanya dengan bingung.

"Dia nggak ada." Andre menggumam sambil mengatur napas. Cowok itu mengedarkan pandangannya ke penjuru kelas.

"Kita harus cari dia. Bisa jadi Vanya masih dalam perjalanan ke sini."

Andre mengangguk. Keduanya kembali melangkah. Kali ini menuju gerbang sekolah. Tapi langkah kaki Gilang terhenti saat melewati toilet perempuan di kelas dua belas. Ada keributan di toilet itu. Mungkin hanya para gadis yang sedang bergosip. Ia hendak kembali melangkah saat tiba-tiba mendengar suara Vanya dari dalam. Tidak begitu jelas, tapi suara itu mirip seperti teriakan.

"Eh lo mau kemana? Itu toilet cewek gila. Eh Gilang!!" Andre berusaha mencegah tapi cowok itu sudah masuk lebih dulu.

Dan di sinilah sekarang Gilang. Berdiri di ambang pintu toilet perempuan. Menatap diam objek yang berada empat meter di depannya. Vanya berdiri tak berdaya, dengan lengan yang dipegang dua gadis di sisi kiri dan kanan. Dua gadis lain berdiri angkuh di depan cewek ceroboh itu. Salah satunya membawa ember. Satunya lagi membawa gunting.

Glass BeadWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu