8

1.2K 196 52
                                    

Halo, asalamualaikum, apa kabar pembaca Head Over Heels? Semoga kalian sehat-sehat, nggak sampai putus harapan karena saya nggak update-update. Yah, ada banyak banget kerjaan di luar kantor yang mendesak. Nggak cuma satu dua tiga empat, tapi banyak. Tapi karena sudah terlalu lama saya mengabaikan protes kalian, saya merasa berdosa dan akhirnya saya salat taubat dan mulai melanjutkan kisah Sam dan Luh ini.

Baiklah, tanpa basa-basi yang kalian pasti mencibir, "Busuk banget nih basa-basinya nih Author!" langsung saja. Selamat membaca. Jangan lupa vote dan komen, supaya sayanya semangat!



Salam,


-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

LUH

DELAPAN jam dalam sehari, lima hari dalam seminggu, dan dua puluh hari dalam satu bulan. Itu adalah waktu yang aku gunakan untuk lari dari kenyataan—lari dari Sam, lebih tepatnya.

Sepulang acara liburan dari Puncak, kami tidak terlibat percakapan secara langsung. Lebih jelasnya, aku selalu menghindari obrolan dengan Sam. Selama perjalanan, aku hanya nimbrung obrolan Annet dan Adnan sesekali. Sisanya, Sam tetap menjadi laki-laki paling ceria yang mudah berbaur dengan orang asing, sementara aku berubah menjadi perempuan pendiam yang seperti sedang menjaga image di hadapan calon mertua.

Iya, iya, memang sepengecut itulah aku.

Hari ini, seminggu setelah liburan itu, aku diminta Adnan untuk mendatangi sebuah acara pameran foto, yang beritanya nanti akan tayang di R radio. Aku berangkat dengan Gocar karena setelah acara ini, aku akan langsung pulang ke apartemen. Jadi, aku menolak tawaran Adnan untuk menggunakan mobil serta sopir kantor. Dan, sesampainya di gedung, aku bertanya-tanya, sesempit apa sih, Jakarta ini, sampai-sampai aku bisa bertemu dengan seseorang dari masa lalu?

Ini adalah pameran fotografi yang diselenggarakan di JCC dengan tema kemanusiaan. Kebanyakan foto yang kulihat merupakan hasil tangkapan pada liputan kerusuhan saat demo besar sebelum pengesahan DPR beberapa bulan kemarin. Beberapa foto yang epic memang. Aku terus memandangi salah satunya, seakan gambar tersebut sedang mengajakku berbincang, menceritakan bagaimana ricuhnya malam pada acara demo tersebut.

"Gambarnya, atau nama fotografernya yang bikin lo terus natap foto itu, Luh?"

Aku menengok dan mendapati sang fotografer dengan setelan sedikit formal. Kemeja pas badan, celana jins dan sepatu bot yang membuatnya terlihat keren. Dia adalah Riko, si mantan Ketua BEM yang pernah menjadi pacar pertamaku ketika kuliah.

"Elo mau denger jawaban yang mana nih?" Aku langsung mengulas senyum ke arahnya.

"Apa kabar, Luh? Lo kelihatan makin cakep." Riko mengulurkan tangannya kepadaku, dan aku langsung membalasnya.

Aku menjawab kalau kabarku baik, meskipun kenyataannya nggak demikian. Setelah itu aku bertanya balik sebagai obrolan standar ketika bertemu dengan teman lama.

Riko mengajakku pindah ke kafe yang berada di gedung yang sama dengan gedung pameran. Sekarang, kami sedang duduk berhadap-hadapan ditemani secangkir kopi yang tinggal menyisakan setengahnya saking serunya kami ngobrol. Tadi aku sempat wawancara mengenai acara ini kepada pihak penyelenggara dan tentu saja, beberapa fotografer yang terlibat dalam pameran ini, salah satunya adalah manusia narsis di hadapanku ini.

"Jakarta sempit, ya," cetusku, "karena dari sekian jurnalis keren yang harus gue temuin, gue ketemunya malah sama elo."

Riko tersenyum lebar, memperlihatkan kerutan di sudut matanya, seakan ingin memperlihatkan kepada orang-orang bahwa itu adalah bagian terbaik dari wajahnya.

Head Over Heels (Kisah Cinta Ironis Sam dan Luh)Where stories live. Discover now