3

2.6K 226 32
                                    


Akhirnya, sebagai seorang mantan PHP saya merasa bangga karena sudah menunaikan janji saya buat posting bab 3 setelah molor dua minggu. Baiklah, pembaca setia HOH yang lelah di PHP, babang kasih bab 3 dan postingan sebelumnya masih berlaku, dan silakan dijawab pertanyaannya.


Selamat menyelami kerumitan Sam dan Luh...

SAM

KADANG-KADANG gue melamunkan suatu hari gue terbangun dan beberapa hal dalam hidup gue berubah.

Begitu keluar kamar dalam keadaan siap ngantor misalnya, gue mendapati Luh sedang nyiapin roti bakar di dapur. Gue menyapa selamat pagisambil tersenyum, terus dia menoleh, membalas dengan sapaan serupa ditambah senyuman lebar yang akan membuat siapa pun yang melihatnya seperti punya jaminan bisa melewati hari dengan sempurna. Gue mengempaskan tubuh ke kursi meja makan sambil mencomot dua lapis roti bakar yang udah dibuatnya. Saat gue mau melahapnya, tangannya yang lembut mencengkeram pergelangan tangan gue.

"Itu roti srikaya buat pacar aku, Sam. Yang selai cokelat buat kamu lagi aku bikinin."Lalu dia mengambil dan menaruh kembali roti dari tangan gue ke piring. Setelah itu gue mulai membahas kalau gue selalu suka sarapan di apartemen bukan karena roti bakar buatannya paling enak sedunia. Tapi karena pacar gue lebih senang bikinin gue kopi di kantor, dan baginya itu udah lebih dari cukup sebagai sarapan sementara buat gue sama sekali nggak ngenyangin. Setelah itu dilanjut dengan obrolan ringan untuk memulai aktivitas harian kami sebagai seorang teman yang kebetulan tinggal bareng seapartemen.

Tapi seringnya gue menarik kembali lamunan gue itu, mengubah skenario lain yang diinginkan hati gue. Gue terbangun di pagi hari, siap-siap berangkat, dan saat ke dapur, gue mendapati Luh sedang memanggang roti. Lalu, saat gue mengambil dan hendak melahap yang sudah tersaji di piring, dia buru-buru nyegah, "Itu roti selai srikaya punya aku, sayang. Yang buat kamu masih aku bikinin nih. Yang sabar, ya. Entar dikasih sarapan lebih."Kalimatnya dibarengi dengan seringaian nakal, dan gue sebagai suami ngerti apa maksudnya.

Ya, ngimpi aja terus gitu, Sam.

Memang nggak ada jaminan kita bisa melupakan seseorang yang pernah tinggal lama di hati, mengisi hari-hari kita dan membayangkan dia ada dalam rencana masa depan hidup kita. Kapan hari gue sempat buka-buka dan baca artikel majalah di ruang tunggu kantor. Splash, Slash atau Squash, gue nggak ingat nama majalahnya yang bener yang mana. Mereka menyebut kalau melupakan adalah proses terberat sekaligus terpanjang ketimbang jatuh cinta itu sendiri, yang bisa saja terjadi dalam hitungan detik. Dalam film Before Sunrise, artikel itu memberi contoh, proses jatuh cinta dimulai saat Jesse melihat Celine yang berpindah tempat duduk ke seberangnya dalam sebuah perjalanan. Mereka mengobrol di restoran dalam gerbong kereta, Jesse iseng nyeletuk kalau dia bakal menyesal seumur hidup kalau nggak mengatakan kegilaannya untuk mengajak Celine ikut turun di Vienna. Dan dalam waktu yang amat singkat itu mereka bisa jatuh cinta. Sementara melupakan adalah perkara berbeda.

"Kopi, Sam?"

Gue mendengar suara renyah yang khas di dekat gue. Begitu menoleh, gue mendapati Kintani berdiri di dekat kubikel dengan memegangi dua cangkir yang mengepulkan aroma wangi.

"Moccachino, bener, kan?"Dia mengangsurkan salah satu cangkir kopi yang biasa gue minum itu ke gue.

"Eh, thanks, Kin." Dengan kikuk gue menerimanya. "Tadinya gue mau bikin sendiri, tapi ya gimana lagi kalau udah begini." Gue memperlihatkan cengiran ke arahnya.

"Karena sejak tadi gue liatin elo kalau nggak masang wajah ngantuk, ya wajah cengo kayak besok mau ditembak mati gitu." Kintani tertawa, dan seharusnya dia nggak secantik itu dengan tawa lebar yang memperlihatkan susunan giginya yang rapi.

Head Over Heels (Kisah Cinta Ironis Sam dan Luh)Where stories live. Discover now