4

1.6K 222 22
                                    


Hai, halo. Long time no see.... Rasanya kayak udah jutaan tahun saya nggak update, tebar PHP sana sini janjiin mau update, tapi nggak update-update juga. Tapi kali ini, Babang menepati janji. Oh ya, selamat tahun baru untuk kita semua. Semoga tahun ini, semua harapan dan impian kita semua bisa terwujud. Doakan juga, Sam dan Luh jadian lagi juga. Soalnya, diam-diam mereka masih mengharapkan satu sama lain, tapi masih gengsi buat ngomong. Ya gitulah, kadang bukan cuma mereka yang seperti itu. Mungkin kalian juga? Naksir seseorang, tapi milih memendamnya di hati. Mateng enggak, perih iya saat tahu kalau doi udah sama yang lain. EAKKK!

Oke, selamat membaca.... Nantikan update bab 5 yang entah tahu kapan.

***


LUH

SELAMA MENJALIN hubungan dengan Sam, aku baru sekali bertemu dengan keluarganya.

Waktu itu Sam memintaku menemaninya pulang kampung tanpa mengatakan alasannya. Sok-sokan misterius gitu, yang membuatku diam-diam membersitkan harapan kalau kepulanganya itu berarti sesuatu. Yah, semacam dikenalkan kepada orangtuanya, saudara-saudaranya, dan akhirnya bisa saling mengenal satu sama lain sebagai tahapan pertama untuk langkah berikutnya. Katakanlah aku sudah geer duluan, tapi memangnya apa lagi yang ada di benak perempuan saat sang pacar mengajak bertemu keluarganya?

Begitu sampai Bali, ternyata aku diundang untuk menghadiri pernikahan Nana, kembaran Sam yang dinikahi seorang bule Australia. Selama tiga hari aku berada di Pulau Dewata, ikut membantu persiapan pernikahan dan bersuka cita bersama keluarganya yang hangat. Ibunya seorang perempuan keturunan Tionghoa yang sangat ramah, pintar memasak dan sedikit kalem, sementara ayahnya seorang Irlandia yang fasih berbahasa Indonesia dan sangat bawel. Jadi setelah itu aku tahu dari mana asal gen kulit putih kemerahan dan mata sipit yang dimiliki oleh Sam.

Pada pidato di acara pernikahan Nana, setelah mengutarakan kebahagiaannya saat melihat kembaran yang sebelumnya tidak pernah mau terikat oleh komitmen bisa menikah, Sam tiba-tiba menyebut namaku dan memintaku berdiri. Tentu saja aku kaget. Bersama perasaan canggung karena ditatap puluhan tamu undangan yang sebagian besar adalah keluarganya, aku berdiri dan mencoba tersenyum selebar mungkin. Aku harus memberikan kesan pertama yang menakjubkan kepada—dulu aku menyebutnya—calon keluargaku (sudah geer maksimal pokoknya), tentu saja. Lalu Sam mengenalkanku kepada keluarganya sebagai pacar, yang katanya tidak lama lagi akan menyusul pelaminan seperti kembarannya.

"Yah, doakan saja," jawab Sam ketika Nana bertanya kapan tepatnya hari itu. Hari di mana dia akan menikahiku, merayakannya bersama kedua keluarga besar seperti yang terjadi pada kembarannya hari itu.

Setelah beberapa bulan berlalu, semua itu hanya tertinggal sebagai kenangan. Atau—mungkin, lebih tepatnya—sedikit omong kosong, karena setelah itu hubungan kami berakhir dan menjadi bukan apa-apa seperti sekarang.

Jadi, orangtua serta kembaran Sam tahunya kalau aku masih pacar yang akan segera dinikahinya, apalagi ketika tahu kalau sekarang kami tinggal bersama. Itu berita buruk yang membuatku langsung meninggalkan rumah Annet begitu dihubungi Sam di telepon. Dengan sangat terpaksa membatalkan pertemuan dengan Adnan yang jelas-jelas lebih punya masa depan karena dia akan memberikan informasi soal pekerjaan, ketimbang menyambut keluarga mantan pacar yang hanya akan membuatku sedikit menyesal. Bagaimanapun, aku pernah sedikit berharap bisa menjadi bagian dari mereka.

Aku menyambut mereka di lobi apartemen. Segera memeluk ibunya Sam, mencium pipi kiri-kanan Nana yang semakin cantik setelah punya anak, mencubit gemas bayi setahunan yang berada dalam gendongannya, bersalaman dengan ayahnya Sam yang langsung menyeletuk, "Apa kabar calon mantu?" dengan aksen Irlandia yang sangat kental.

Head Over Heels (Kisah Cinta Ironis Sam dan Luh)Where stories live. Discover now