1

4.4K 316 46
                                    



LUH

SERING KALI aku mempertanyakan ini setiap melamun di sofa ruang tengah. Sosok laki-laki seperti apa yang akan menjadi pendamping hidupku kelak? Apakah akan seganteng John Rhys-Mayer, si aktor favoritku dalam film August Rush yang ceritanya selalu bikin aku nangis setiap kali menonton ulang, atau sosok laki-laki yang mungkin punya suara seseksi Harry Styles yang akan membuatku merasa betah hanya dengan mendengarkan dia berbicara selama berjam-jam, atau lelaki dengan sejuta pesona seperti Jude Law?

Dalam lamunan yang sama ditemani suara percakapan acara televisi yang sebenarnya tidak kusimak, aku juga kerap menebak-nebak. Bagaimana perangai lelaki masa depanku itu saat menghadapiku—yang aku sendiri suka nggak tahu menghadapi keinginanku yang kadang-kadang absurd ini? Lalu kepada kedua orangtuaku yang selalu menuntut kebahagiaan versi mereka untukku, si anak semata wayangnya, dan kepada anak-anakku nanti. Apakah sosok yang akan berkata,"Udahan dulu nangisnya, ya, sayang. Nanti di depan mini market sana Papa beliin dua, deh,"kepada putri kecil kami yang merajuk meminta es krim di dalam mobil, padahal tahu kalau gula tidak terlalu baik untuk gigi-gigi susunya yang baru tumbuh? Atau seseorang yang akan membentak, mengatakan dengan sejujurnya bahwa es krim sama sekali tidak bagus untuk kesehatan giginya, mengancam akan lebih sering membawanya ke dokter gigi yang galak, padahal yang sedang diajak bicaranya adalah balita yang nggak tahu apa-apa.

Mengingat hal yang terakhir itu sebenarnya membuatku bisa bernapas dengan lega. Aku sudah menghapus daftar lelaki tipe kedua, dan itu sudah bertahun-tahun yang lalu. Kami pacaran pada masa-masa awal kuliah yang menyenangkan, lalu mengakhirinya hanya dalam tiga bulan karena dia yang tidak ingin kusebutkan namanya itu sudah berani mengatur-atur dan membentakku—oh, ibuku yang judes saja nggak pernah melakukan itu. Tapi, yah, bagaimanapun, itu kisah lama yang sebenarnya tidak ada faedahnya untuk kuceritakan kembali, selain bahwa pepatah kalau kita akan menemukan orang yang tepat setelah bertemu dengan orang yang salah, benar adanya. Aku salah satu orang yang percaya dengan peribahasa tersebut, karena setelah beberapa bulan putus dengan si-orang-yang-salah-itu, aku bertemu dengan si-orang-yang-nyaris-tepat.

Pertama kali kami bertemu saat lelaki itu membantu memotret bersama teman sekelasku yang tergabung dalam majalah kampus—ini sangat lawas sekali, tetapi entah kenapa bagian terkecil di dalam otakku selalu mengingatnya sampai sedetail ini, seolah dia selalu ada untuk kukenang, untuk kuceritakan kepada orang lain seakan bagian terbaik dari hidupku adalah saat pertama kali bertemu dengannya. Tetapi hal pertama yang selalui kuingat dari sosoknya adalah, dia tidak seperti teman laki-laki kebanyakan, yang akan mencuri-curi tatapan kepadaku padahal sedang ngobrol dengan teman lainnya. Tidak melontarkan gombalan-gombalan receh seperti yang lain, yang biasanya kutanggapi,"Ah, yakin itu buat gue, bukan cewek lain yang lewat depan kelas lo?"sambil mencoba tertawa, meskipun seringnya aku nggak nyaman dengan tingkah mereka. Tetapi sosok yang lebih sering mengalihkan pandangannya, seakan aku bukan seseorang yang menarik minatnya.

Selanjutnya, kami mulai sering berpapasan—entah dia menyadari atau tidak—saat diam-diam aku sering kali mencuri pandang ke arahnya. Dia bukan atlet basket yang akan kita ingat karena punya lengan berotot dengan bahu lebar yang terlihat keren di mata para mahasiswi waktu itu. Sebaliknya, dia punya tubuh gempal yang sering menjadi bahan ledekan teman-temannya.

Persis seperti siang itu di kantin. Yah, selalu ada yang pertama, lalu pertemuan-pertemuan lain yang anehnya juga tak luput dari ingatanku. Aku sedang mengantre jus, dan pada meja tidak jauh dari tempatku berdiri, aku mendengar seseorang meledeknya.

"Ini nih, alesan kenapa lo nggak kurus-kurus." Suara beraksen Makasar yang kental terdengar.

Aku menoleh dan mendapati tiga orang sedang duduk di meja di dekatku. Dia, lelaki itu, bersama kedua temannya yang nyaris selalu kulihat di mana pun dia berada—kecuali di kelas-kelas penting, kurasa.

Head Over Heels (Kisah Cinta Ironis Sam dan Luh)Where stories live. Discover now