5

2.1K 243 57
                                    

Hai, aloha. Kemarin di lapak bab sebelumnya, ada yang ngedoain supaya tahun ini saya rajin-rajin update, dan berkat doa yang tulus itu, Tuhan mengijabah, membuat saya mengenyampikan tugas-tugas lain, dan menulis lanjutan Luh dan Sam. Entah saya harus senang atau sedih. Tapi alhamdulillah, belum ada yang ngedoain tahun ini ke pelaminan. Baiklah, selamat menikmati bab 5. Semoga bab 6 segera menyusul, ya.



LUH

AKU RASA penampilanku ini terlihat cukup kasual untuk nonton.

White turtleneck yang tidak ketat tapi akan menolongku dari serangan dingin ruangan ber-AC.

Bawahan Pinstripe Panterbag pants, cek.

White sneakers, cek.

Make up tipis, cek.

Rambut yang kubiarkan tergerai dengan sedikit bantuan catokan, cek.

Aku hampir melupakan sesuatu, tas. Setelah mengambilnya aku keluar kamar ragu-ragu. Berpapasan dengan Sam sekarang menjadi sesuatu yang terasa sangat horor, dan untungnya dia tidak sedang berada di ruang tengah. Tempat ini sepi, seperti tidak ada tanda-tanda keberadaannya di sini. Hanya aku sendiri, dan yah, aku terus menanamkan pemikiran tersebut.

Aku mengempaskan tubuh ke sofa, mengeluarkan ponsel dari dalam tas, hendak memonitori Annet sudah sampai mana sambil memakai sepatu yang kubawa dari kamar. Apakah dia menjemputku sendirian, atau dia ke sini bersama Adnan?

Sebelum nelepon Annet, aku mencium bau harum yang seketika menerbitkan rasa lapar. Seperti aroma daging berbumbu yang dibalut parutan keju. Lalu, apa yang kutakutkan mengenai Sam baru saja terjadi. Sosoknya muncul bersama dua piring makanan di tangannya. Dia menaruh dua piring spageti ke atas meja di hadapanku, lalu mengambil remote dan menyalakan televisi.

"Muncul juga akhirnya," komentarnya, membuatku bertanya-tanya. Maksudnya apa ya, Sam?

"Gue lihat sejak pagi lo nggak keluar-keluar," lanjutnya. "Jadi gue ke super market buat beli bahan-bahan yang bisa gua masak cepat."

Damn, aku lupa ini Sabtu yang artinya hari libur buat Sam. Kukira dia akan lembur sehingga seharian aku tidak keluar kamar kecuali ke kamar mandi pun dia tidak akan tahu. Sarapan dan makan siangku hanya setangkup roti tawar dan selai.

Sam langsung mengambil piringnya. Sebelum menyuap, dia menatapku dan berkata, "Dimakan, Luh, mumpung masih hangat. Kalau dingin nggak enak." Setelah itu dia mulai menyuap, dan sesekali pandangannya beralih ke televisi.

"Sam," ucapku ragu-ragu.

"Oh iya, minumnya. Gue lupa." Dia menyimpan piring ke atas meja, berlalu ke dapur dan kembali dengan dua gelas minuman seperti jus jeruk. "Gue campur jeruk sama lemon, biar ada asem-asemnya." Dia meletakkannya ke atas meja, kemudian kembali ke aktivitasnya semula. Memakan spagetinya dengan lahap sambil menyaksikan acara televisi.

"Sam, aku mau pergi." Akhirnya, aku bisa mengatakannya. "Aku udah ada janji nonton bareng Annet da—" Kalimatku tertahan begitu ponsel di tanganku berdering. Nama Annet terpampang di layar. Aku langsung menerimanya, dan sempat kuliah ekspresi antusias Sam berubah saat mendengar pengakuanku barusan.

"Ditunggu di lobi ya, Babe, sekarang!" sambut Annet begitu aku menerima panggilan, kemudian memutusnya begitu saja.

"Ya udah, gue simpen di kulkas supaya besok pagi masih bisa lo angetin ya, Luh." Sam beranjak dari sofa menuju dapur.

Head Over Heels (Kisah Cinta Ironis Sam dan Luh)Where stories live. Discover now