2

2.6K 293 21
                                    


LUH

SATU HAL yang kubenci ketika tumbuh menjadi dewasa adalah saat melewati mimpi buruk. Terbangun tengah malam sendirian tanpa tahu harus ngapain, selain berdoa dan mencoba kembali tidur meskipun sulit. Sewaktu kecil, tanpa banyak berpikir lagi aku akan langsung turun dari tempat tidur, mengetuk kamar ayah dan bunda, kemudian menyusup ke tengah-tengah mereka. Aku akan lelap bersama perasaan aman tanpa disergap ketakutan akan apa pun, karena ada dua orang di sebelahku yang selalu melindungiku. Setelah memasuki masa remaja, kebiasaan itu sudah mulai kutinggalkan meskipun aku kerap terbangun tengah malam karena mimpi buruk. Ada hal-hal yang memasuki kesadaran kita mengenai apa yang boleh dan nggak boleh kita lakukan saat tumbuh menjadi dewasa.

Pada hal yang kita sukai, kejadian yang berulang akan menimbulkan perasaan senang, seperti dibelikan es krim setiap hari meskipun ada kemungkinan beberapa stoples menumpuk di kulkas karena bosan. Pada hal yang kita benci, kejadian yang berulang itu akan menimbulkan ketakutan setengah mati, lalu tanpa sadar kita belajar untuk menjadi kuat. Sekarang aku bingung, reaksi seperti apa yang harus kuperlihatkan saat terbangun dan mendapati selembar selimut membungkus tubuhku. Masalahnya adalah, ini bukan yang pertama setelah aku punya teman tinggal di apartemen ini. Malam-malam sebelumnya saat aku kelolosan tidur di sofa ruang tengah sambil menonton acara televisi, aku selalu terbangun dengan selimut yang menghangatkan tubuhku sepanjang malam, lalu bantal yang menyangga kepalaku, yang membuat tidurku selalu nyenyak.

Apakah aku senang, karena kalau tidak, aku akan terbangun dengan perut kembung akibat AC yang menyala dengan suhu rendah? Tetapi perasaan takut selalu menyergap begitu saja, membawa ingatanku pada hal-hal yang ... sedikit mengerikan. Mengenai bagaimana bisa aku bergantung kepada seseorang yang seharusnya kuhindari untuk alasan yang sudah sangat jelas. Dia adalah mantan pacarku, dan perempuan sinting mana yang mengajak mantannya mengisi kamar sebelah, ketika dia sedang dalam proses pergolakan batin keras melupakannya?

Perempuan sinting itu ternyata ada di sini, dia bernama Luhara Lituhayu yang saat becermin aku akan bisa melihat sosoknya dengan sangat jelas.

Aku menyingkap selimut, kemudian mendudukkan tubuh pada sofa. Mencoba mengumpulkan sisa-sisa kesadaran. Aku melipat selimut lembut berwarna cokelat yang kemudian kusadari bukan milikku. Aromanya wangi, seperti baru saja diambil dari laundry. Berikut bantal dengan sarung yang jelas-jelas milik Sam. Kenyataan ini sangat memalukan, karena setelah malam tiga hari yang lalu, aku berjanji untuk tidak ketiduran lagi di sofa setelah terbangun dengan keadaan serupa. Tapi malam tadi aku melakukannya lagi.

Setelah melipatnya, aku menumpuknya ke atas bantal, kemudian beranjak membawa dua benda itu dalam dekapan. Sesaat kemudian aku mematung di hadapan pintu kamar Sam. Disergap perasaan ragu antara langsung mengembalikannya padahal ini sudah kupakai dan kemungkinan terkena ilerku, atau membawanya ke laundry untuk dicuci dulu.

"Gue percaya banget kalau si Sam ini cowok baik-baik. Gue kenal dia jauh sebelum kalian saling mengenal, makanya gue setuju banget pas tahu kalian pacaran." Detik itulah aku teringat perkataan Annet saat aku menceritakan kebiasaanku ini. "Tapi sebaik apa pun si Samudra, dia tetap cowok normal, Babe. Siapa tahu sebelum pulang si Irham ngajakin dia minum-minum dulu, terus pas balik ke apartemen liatin lo ketiduran di sofa. Kucing mana memangnya yang nggak tertarik nyicip tulang ikan yang terhidang di depannya?"

Aku tidak tahu harus kesal karena hal itu bisa saja terjadi dalam hidupku, atau gara-gara analogi tulang ikan untuk menggambarkan tubuhku.

"Gue juga sempet ada perasaan kayak gitu, An. Tapi ketiduran, kan, bukan sesuatu yang bisa kita rencanain dengan matang."Aku mengoper-oper saluran televisi, sementara Annet duduk di sofa sambil ngemil biskuit yang diambil dari kulkas.

Head Over Heels (Kisah Cinta Ironis Sam dan Luh)Where stories live. Discover now