10. LUH

3K 353 12
                                    


"That's just the trouble with me,I give myself very good advice, but I very seldom follow it." - Alice In Wonderland

SETELAH Mbak Mala menghampiriku di ruang ganti dua minggu yang lalu, memberiku peringatan sebagai seorang teman mengenai daftar kesalahan yang kubuat selama bekerja akhir-akhir ini, aku pikir masalahku di kantor akan selesai begitu saja. Maksudku, yah, aku bisa mulai belajar melepas kebiasaan makan tidak teratur, sekaligus bisa lebih memfokuskan konsentrasiku saat sedang on air—dengan menyingkirkan segala hal tentang Sam dari kepalaku, tentu saja—kemudian bisa kembali berkerja selaiknya seorang Luh Litahayu yang sedia kala. Cantik, menarik, enerjik dan tentu saja ekspresif. Tetapi peringatannya waktu itu yang ada malah menjadi awal dari sebuah malapetaka.

Oke, akan kumulai ceritanya secara runut dan semenarik yang aku bisa.

Pagi ini aku memasuki lobi kantor dengan iPad di tangan. Aku sedang membuka surel rutin berisi skedul bulanan yang dikirim Sesha sambil tersenyum menyapa resepsionis dan sekuriti yang berjaga, seakan-akan hariku setelah itu akan berjalan dengan lancar. Lalu senyum sejari yang kupamerkan itu lenyap seketika file surel terunduh. Bulan ini aku hanya kebagian satu kali on air selama seminggu, yang artinya jatah siaranku hanya empat kali dalam sebulan. Kalau bukan human error yang dilakukan oleh Sesha, sudah pasti ini adalah musibah untukku.

Bersama perasaan waswas yang langsung memenuhi isi kepala, aku segera memasuki lift menuju kantor divisiku di lantai sembilan. Berbagai hal buruk berkecamuk di benakku sekarang. Dua tahun yang lalu, Mas Bondy, presenter di acara News Entertainment misuh-misuh di ruang ganti begitu mendapati jatah siarannya dikurangi karena pipinya terlihat chubby di layar televisi. Beberapa bulan kemudian, dia tidak lagi terlihat di kantor dan gosip beredar kemudian bahwa kontraknya tidak diperpanjang. Suatu hari di Minggu pagi, ketika sedang sarapan aku tidak sengaja menonton acara reality show ibu-ibu memasak di televisi lain yang dipandu oleh seniorku tersebut. Aku tidak tahu apakah itu kabar baik atau sebaliknya, yang jelas, perasaanku sekarang mulai tak keruan.

Untuk mengenyahkan segala prasangka buruk yang bergumul di benakku, begitu pintu lift terbuka, aku langsung menghampiri kubikelnya Mbak Mala. Produserku itu sedang duduk serius menghadap layar komputer di hadapannya.

"Mbak, boleh minta waktunya sebentar nggak?" kataku tanpa diawali basa-basi terlebih dulu.

Mbak Mala menoleh, kemudian melepas headphone yang menyumbat kedua telinganya. "Ya, Luh, kenapa?"

"Aku dapat email skedul rutin dari Sesha barusan Mbak, dan ... ini kesalahan bukan Mbak, masa aku kebagian jadwal siaran sekali seminggu, apa itu—"

"Oh iya, Luh, sebenarnya gue mau bilang ke elo lebih dulu, tapi ponsel lo sibuk terus dari kemarin," Mbak Mala memotong bicaraku. Sekarang dia memfokuskan perhatian kepadaku sepenuhnya. "Waktu itu Mas Bara manggil gue ke ruangannya setelah dipanggil Mas Adin. Mas Adin bilang, selama bentuk tubuh lo belum balik ke normal, kami mengurangi jatah lo siaran." Rautnya berubah jadi serba salah.

Untuk sesaat lidahku kelu mendengar penjelasan Mbak Mala. Kalau urusannya sudah dengan Mas Adin, berarti masalah ini tidak lagi sepele. Itu artinya, Mbak Mala sudah tidak bisa memperjuangkanku di hadapan atasan kami tersebut.

"Luh, gue udah berusaha sebisa gue," suara Mbak Mala sedikit melemah.

"Aku tau, Mbak," kataku, "salahku juga sih sebenarnya, yang nggak mau dengerin nasihat Mbak dari dulu." Sebenarnya, aku luar biasa kecewa atas keputusan ini, dan kemudian aku bingung, perasaan kecewa ini entah kutujukan kepada siapa. Kepada Mbak Mala yang tidak memberi tahuku terlebih dulu, atau kepada diriku sendiri yang memilih terus berkubang pada kesalahan yang sama. Atau ... apa mungkin ini sejenis kutukan atas keputusanku mengakhiri hubungan dengan Sam, atas alasan yang bodoh? Atau—

"Luh, untung banget ketemu kamu di sini," sapa Mas Bara yang tiba-tiba muncul dari arah pantri sambil membawa cangkir di tangan yang mengepulkan uap harum. Kemunculannya seketika menghentikan pikiran-pikiran buruk yang merasuki otakku dengan liarnya. "Bisa ke ruangan saya sebentar? Kita ngobrol-ngobrol santai saja." Setelah mengatakan itu, pimpinan departemen acara J-entertainment itu melanjutkan langkahnya yang santai itu menuju ruangannya.

Aku segera berpamitan kepada Mbak Mala setelah itu, membuntuti langkah Mas Bara menuju ruangannya yang cukup luas. Dindingnya yang dicat serbaputih diisi perabotan antik yang tertata rapi di meja. Buku-buku berjejer rapi pada rak kayu di sampingnya. Kedatanganku langsung disambut hangat oleh atasanku itu, juga ditawari kopi yang tentu saja kutolak karena bukan untuk itu tujuanku menemuinya.

Setelah sedikit berbasa-basi, menanyakan kabarku, bersama ekspresi serba salah, Mas Bara langsung bertanya, "Luh, boleh saya tahu masalah kamu?"

"Kalau boleh aku tahu juga, Mas, masalah seperti apa, ya, yang Mas maksud?" aku balik bertanya.

"Hem ... beberapa kali saya lihat di televisi, penampilan kamu sedikit banyak berubah, Luh." Masa Bara kemudian menjelaskan detail-detail kesalahanku, yang juga pernah Mbak Mala sebutkan tempo lalu. Setelah itu, dia mulai pada inti dari pemanggilanku ke ruangannya. "Saya dapat teguran dari Mas Adin seminggu lalu karena beberapa kali kamu terlihat kacau di televisi, dan fatalnya Luh, kesalahan yang kamu buat itu berulang. Entah karena kamu nggak baca skripnya dulu sebelum take, atau teman siaran yang bikin kamu nggak nyaman, saya nggak tahu persis soal itu, tapi Mas Adin tahu. He always know, ya kan? Matanya setajam elang. Apa daya kita anak ayam tanpa perlindungan sang induk?"

"Aku sadar kalau soal kesalahan-kesalahan yang kubuat belakangan ini, Mas."

"Semua orang membuat kesalahan, Luh. Saya maklum soal itu, dan berusaha memperjuangkan kamu habis-habisan kemarin di depan Mas Adin," responsnya. "Sejak awal, saya memang sudah suka sama cara kerja kamu. Saya tahu banget kredibilitas kamu, totalitas kamu ke acara kita ini kayak gimana. Tapi—"

"Tapi kenapa, Mas?" potongku nggak sabar. Pujiannya barusan yang sempat bikin lega pun kembali menguap setelah dia mengucapkan "tapi" dengan nada ragu-ragu.

"Luh, saya boleh tanya sesuatu ke kamu? Tapi, ini agak-agak pribadi gitu, nggak apa-apa?" Ekspresi Mas Bara saat bicara kali ini serius.

"Pertanyaan pribadi seperti apa ya, Mas?" tanyaku, memasang ekspresi tidak mengerti.

"Luh, ngomong-ngomong ... duh, saya takut salah bicara. Tapi, baiklah..., kita mulai. Hem, kamu sudah isi berapa bulan?" Mas Bara menatap canggung ke arah perutku. "Apa Samudra tahu soal ini?" lanjutnya dengan hati-hati.

Pertanyaan Mas Bara barusan membuatku sangat terkejut ketimbang mendapati kalau jadwal siaranku yang berkurang banyak. Seketika itu aku tercenung menatap lawan bicara di hadapanku.

"Maksudnya, Mas?"

Saat Mas Bara membuka mulut untuk mejelaskan, teleponnya berdering. Dia mengangkat tangan, memberiku kode untuk menerima teleponnya sesaat.

"Iya, Mas," Suara Mas Bara pelan dan ada nada hormat. "Oh iya, kebetulan Luh sedang ada di ruangan saya ... baik, Mas kalau begitu, akan saya sampaikan...."

Setelah menutup telepon, dia menatapku dengan peduli. Sementara aku menatapnya bingung.

"Luh... Mas Adin manggil kamu ke ruangannya setelah kamu on air siang ini."

Ini malapetaka yang kubilang. []


Yah, mengejar seminggu dua bab itu lumayan menguras tenaga. Bagaimanapun, saya berusaha yang terbaik untuk menepati janji saya, tetapi juga berusaha agar cerita-cerita yang saya tulis ini layak teman-teman baca. Jadi, selamat malam Minggu dan yang jomblo-jomblo dan nggak ada kerjaan, bisalah baca ceritanya dan nantikan bab berikutnya.


Salam,

Head Over Heels (Kisah Cinta Ironis Sam dan Luh)Where stories live. Discover now