5. Sam

4.9K 515 42
                                    



"No place for weakness."
-300-


SEJAUH ini, selama masih ada Jack Daniels atau Jim Beam atau vodka sky dalam gelas kristal yang meluncur ke mulut gue, menyatu dengan aliran darah gue, man, everything is gonna be fine! Gue bisa lupa kalau hubungan gue sama Luh udah berakhir. Gue bisa lupa kalau gue punya status baru sebagai jomblo pengangguran yang masih sering mengemis-ngemis cinta ke orang yang sudah jelas membentangkan dinding nggak kasatmata tapi kentara jelas. Gue bisa lupa kalau malam di tiga bulan yang lalu, hati gue pernah remuk hingga berkeping-keping. Tapi sayangnya kelupaan itu cuma berhasil dalam hitungan jam. Setelah semua kadar alkohol yang dibawa minuman-minuman sialan itu hilang dalam tubuh gue, besoknya gue bakal bangun dengan perasaan hancur lebur.

Begini timeline kegiatan gue seratus hari sebagai jomblo:

Gue menghabiskan siang gue dengan tidur malamnya gue mengunjungi kelab murahan minum sampai mabuk begitu seterusnya sampai kedua sahabat gue bosen minjemin duit ke gue.

Kalau lagi baik hati, kadang-kadang Irham atau Rikas bakal menjemput ke kelab saat gue udah mulai nggak sadarkan diri. Atau mereka bakal mesenin taksi buat menjemput gue setelah ditelepon orang kelab yang entah kenapa bisa sampai mengenal Irham—bahkan hampir semua pengurus kelab yang kami kunjungi mengenalinya.

Ada kalanya gue punya keberuntungan yang hanya bisa gue dapat pas gue lagi setengah mabuk. Gue pernah melewati malam dengan perempuan asing yang sebetulnya sangat cantik. Kalian bayangin Pevita Pearce berambut pirang sepinggang, dengan dua gigi kelinci yang seksi di depan, dengan bibir kemerahan yang penuh. Sayangnya, yang kami lakuin cuma sebatas make out. Maksud gue, pas kami sudah separuh naked, yang gue lihat dari wajah Pevita Pearce wannabe itu adalah wajahnya Luh. Warna kulitnya yang sawo matang, matanya yang bersinar kalau lagi senyum, aroma tubuhnya yang berbau jeruk, rambut-rambut halus di bagian teratas keningnya, bibirnya yang tipis namun sensual, dan dagunya yang lancip.

Alhasil, gue gagal having sex sama Pevita Pearce wannabe. Malam itu, gue izin ke toilet dengan alasan yang langsung membuat dia ilfil ke gue; susah kencing. Lama waktu gue habiskan di dalam toilet, menghabiskan berbatang-batang rokok sambil bayangin Luh yang entah lagi ngapain. Pas gue keluar, perempuan itu udah terlelap di tempat tidurnya dan gue ikutan tidur di sampingnya saking lelahnya. Risiko yang gue dapat keesokannya, dia membangunkan gue dengan cara nendang-nendang punggung gue yang telanjang pakai kaki kayak orang yang jijik, terus dia langsung ngusir sambil ngata-ngatain gue.

"Nyesel gue semalam bawa pecundang impoten ke apartemen. Buang-buang waktu, tau nggak?" teriakannya penuh frustrasi.

Sambil beranjak lalu mencari kaus dan jins yang semalam terlepas tanpa sempat gue pakai lagi, gue menjawab, "Gue nggak impoten. Gue Cuma—"

"Oh God...," si Pevita Pearce wannabe teriak histeris sambil menekapkan tangannya ke mulut, "gue nggak tahu kalau lo gay. Kenapa nggak bilang sejak awal, sih? Gue fine kali kalau sebelumnya lo terbuka." Dia beranjak dari ranjang, tiba-tiba mendekati gue, memandang gue dengan prihatin sambil hendak memeluk gue.

"Gue nggak gay!" Gue menukas sambil memakai celana, lalu membuang pengaman yang hampir saja dia pakein ke "punya" gue semalam ke tong sampah di pojok ruangan.

Setelah kesadaran diri gue balik, rasanya gue rela dikira impoten atau gay, ketimbang gue harus tidur dengan perempuan ini, kemudian berbagi "punya" gue ke selain istri gue kelak. Alasan kenapa gue mau dibawa perempuan ini ke apartemennya karena gue separuh mabuk dan Pevita Pearce wannabe ini sayang banget kalau dibiarin sekadar duduk-duduk sendirian di bar. Maksud gue, gue cukup menariklah kalau mau diajakin ngobrol soal apa pun. Otomotif, flora dan Fauna, kejuaraan MMA, film, musik—gue mantan jurnalis, ya, jadi kemungkinan gue tahu sedikit dari banyak hal itu besar. Dan alasan gue nggak mau melakukan "itu" sederhana; karena gue bukan Irham, dan, man ... ini persoalan prinsip hidup.

Head Over Heels (Kisah Cinta Ironis Sam dan Luh)Where stories live. Discover now