Di balik Kerumitan Kisah Head Over Heels

18.3K 845 48
                                    

Tahun 2013 saya bertemu dengan Christian Simamora di sebuah mal di Jatinangor dalam rangka peluncuran novel debut salah satu penulis Gagas Media. Dia masih bekerja di sebuah penerbitan yang waktu itu diagulkan banyak anak muda, dan dulu saya masih sangat sangat sangat culun dalam dunia menulis (sekarang pun  sebenarnya masih iya, tapi saya tutupi dengan sok-sokan ngasih arahan ke penulis. Ngasih revisi seabreg dan minta penulis buat baca buku-buku bagus untuk asupan nutrisi *jadi curhat kebablasan*).

Nah, dalam pertemuan itulah saya sedikit bercerita soal draf Head Over Heels ini ke dia.

"Kalau nggak salah, premis seperti ini udah pernah dipake Syafrina Siregar deh. Coba entar kamu cari bukunya," kata Christian waktu itu.

Kalian tahu siapa Syafrina Siregar? Kalau belum, bolehlah di Google, atau kalian cari buku-bukunya di Goodreads.

Terus, pas denger kalau premis cerita saya sama dengan novel yang sudah terbit, saya harus ngapain? Apa saya perlu ngubah ide saya, yang mana itu akan memakan waktu yang lumayan lama juga.

Kira-kira pertanyaan seperti itulah yang saya ajukan ke Christian. Lalu, Christian menjawab, "Kamu harus nyari sesuatu yang bikin novel kamu beda dengan novel Syafrina atau novel-novel bertema sejenis lainnya." Setelah itu percakapan kami berakhir, atau mungkin masih ada percakapan lainnya soal buku-buku bagus yang dia rekomendasikan supaya saya baca, tapi untuk kepentingan cerita soal novel ini saya tidak menyertakannya.

Tahun 2015 lalu saya mulai menuliskan kisah Sam dan Luh ini dengan menggunakan sudut pandang orang pertama jamak. Biasanya, saya gagal menulis dengan sudut pandang ini, mungkin karena saking saya menghayati tiba-tiba saya ikutan curcol di dalamnya dan setelah dibaca kembali saya menyadari bahwa itu kesalahan paling fatal yang pernah saya buat. Tapi anehnya saya memberanikan diri untuk mencobanya lagi dan lagi sampai saya berhasil—bukan berarti novel ini sebagai bentuk keberhasilan saya juga sih. Setidaknya, berhasil tidak memasukkan unsur curcol di dalamnya—atau tepatnya tidak terlalu banyak. Tapi kedengarannya kayak sama aja, ya?

Pada tahun yang sama, setelah memutuskan tidak dulu mengedit draf YA yang sekarang terbengkalai, saya mengirimkan dua bab pertama dan sinopsis singkat kepada Hetih Rusli--editor saya (Sekarang masih nggak, Cik? Coba kasih saya kejelasan.... :p). Di tengah-tengah perjalanan menulis cerita ini, saya sangat-sangat nggak pedelah. Merasa tulisan saya sangat busuk banget. Merasa ini ... merasa itu ... merasa banyak sekali.... Setelah mengirimkan dua bab pertama ke Mbak Hetih, saya berharap mendapatkan masukan-masukan positif yang bakalan ngasih saya energi untuk melanjutkan. Beberapa hari kemudian, saya dapat e-mail balasan dari Mbak Hetih.

Nah, betul sekali, teman-teman. Saya dapat review singkat yang mendebarkan (sedikit pujian, dan banyak pula masukan). Tapi sayangnya euforianya nggak lama. Beberapa minggu setelah itu saya meninggalkan lagi draf ini karena saya harus mengerjakan skripsi (Nah, ketahuanlah saya umur berapa sekarang).

Sekarang ... apakah sekarang sudah selesai?

Saya rasa nggak perlu menceritakan detail lainnya seperti apa, karena bukan itu yang teman-teman inginkan, iya, kan?

Yang kalian harapkan jelas cerita Sam dan Luh, not my corny story yang bikin kalian mengeluh, "Apaan sih, Dion. Nggak jelas."

Untuk itu, selamat menikmati pergulatan batin antara Samudra Joseph Reagan dengan Luhara Lituhayu.

Salam Move on

dionrahman/@sagirangisme

Head Over Heels (Kisah Cinta Ironis Sam dan Luh)Where stories live. Discover now