8. Luh

3.3K 386 14
                                    


"Maybe self-improvement is not the answer. Maybe self-destruction is the answer."

-The Fight Club-

"LUH, akhir-akhir ini lo ada problem ya sama nafsu makan?"

Mbak Mala menghampiriku di ruang ganti saat aku sedang berusaha keras mengganti pakaian sponsor yang baru saja kukenakan untuk keperluan syuting.  Selain kehadiran produserku itu, aku juga punya kabar lain yang lumayan mengejutkan, that haunted most women in this world.

Aku menghabiskan hampir satu jam di ruangan yang tidak terlalu luas ini sebelum pengambilan gambar dimulai, dibantu oleh Laras, orang wardrobe yang dengan telatennya mencarikan pakaian yang "pas" untukku. Karena apa, mau mencoba menebak?

Tepat, karena hampir semua pakaian yang kucoba nggak ada yang muat, kecuali yang kupakai sekarang. Dalam perkiraan waktu yang sama juga kuhabiskan untuk melepaskannya dari tubuhku. Sebagaimana yang telah disepakati dengan pihak sponsor, pakaian ini harus kembali dalam keadaan utuh dan dipastikan tidak boleh beset sedikit pun. Dan untuk sekarang, dengan bobot tubuhku yang tak lagi ideal ini, itu menjadi pekerjaan yang amat merepotkan.

"Sedikit, Mbak," Aku menjawab ragu-ragu. Meringis karena malu, berikut karena gencetan korset yang benar-benar bikin nggak nyaman ini.

"Program diet yang gue kasih waktu itu ke elo nggak lo lanjut, ya?" Mbak Mala kembali melayangkan tanya dengan nada ketusnya yang khas.

Sebentar ... sebentar.... Menyiksa diri dengan menghindari makanan superlezat, after I passed the hardest time in my life? Apa tidak ada cara lain yang lebih kejam untuk menyiksa hidupku lahir dan batin, ya? Yang ada, saat ini aku sedang gila-gilanya dengan yang namanya makanan. Bayangkan ayam goreng-nya Suharti yang crunch, gelato serta Pizza Vulcano-nya Pisa Cafe & Resto yang bikin nagih, choco banana dengan toping almond-nya J.co, atau keripik pedas yang dititip langsung ke OB kantor waktu mudik dari Bandung karena jajanan itu cuma ada di toko oleh-oleh sana. Oh, Yuuuummmm...! Hanya Tuhan, Annet dan pramusaji restoran-restoran yang pernah kudatangi beserta abang Go-Jek yang bakal percaya bahwa aku bisa menghabiskan beberapa porsi makanan yang kupesan dalam satu waktu. Padahal, dalam dunia hiburan yang tengah kugeluti sekarang, penampilan jelas-jelas menjadi faktor penentu paling utama keberhasilanku. Yah, kadang-kadang aku sadar kalau aku bukan Oprah.

"Luh, waktu itu lo pernah membahas diet Megan Fox yang milih ngonsumsi makanan hasil dari yang ditanam dan diburu dengan sebutan diet Paleo, lo masih inget?"

Aku mengangguk dengan bodohnya, seolah-olah yang barusan itu pertanyaan sungguhan. Bahkan, aku masih inget kalau Halle Berry itu tipe penganut makanan bersih yang membagi jenis makanan sebagai makanan kalori bermanfaat yang dikonsumsinya dan kalori kosong yang nggak disentuhnya. "Aku juga masih inget Mbak, kalau para perempuan di Spanyol, termasuk Penelope Cruz, terkenal dengan keindahan bentuk tubuhnya karena mereka menerapkan diet mediterania dengan makanan utama sayuran, kentang, kacang-kacangan, roti dan yogurt rendah lemak. Jennifer Lopez yang milih membawa minyak beraroma grapefruit ke setiap tempat, yang akan dihirup selama lima belas menit untuk menghilangkan nafsu makannya."

"Nah, elo tahu inti dari semua kegilaan mereka buat apa?"

Jelas aku tahulah. Yang mengembang itu tubuhku, sementara otakku baik-baik saja. Tapi aku tidak mungkin mengatakan kalimat sarkasku barusan kepada atasanku ini.

"Penampilan yang sempurna, Mbak." Demi karier mereka di Hollywood sana yang persaingannya lebih ketat dari program diet itu sendiri, atau dari korset yang mereka pakai. While, I'm such a nobody here, Luhara Lituhayu, seorang presenter pendatang baru yang begitu masa bodoh dengan penampilan. What should I expect?

"Itu elo tahu. Dan ... bukannya sejak tiga minggu yang lalu gue sering ngingetin elo ya, kalau lo udah nggak enak dilihat di televisi?" ucapnya dengan mimik serius. "Sadar nggak, Luh, kalau sekarang lo udah kayak BCL abis lahiran?"

Ng ... "Aku tau, Mbak," jawabku geragapan. Tahu kalau bobot tubuhku bertambah beberapa kilo belakangan ini. "Cuma aku nggak sadar kalau—"

"Ras, bisa tinggalin kita sebentar, nggak?" kata Mbak Mala kepada Laras, membuat pembelaanku terjeda. "Lo bisa istirahat dulu di kantin setelah kerja keras bantuin Luh," lanjutnya menekankan kata "kerja keras", yang tentu saja langsung disambut Laras dengan sukacita.

kalau tubuhku sebesar BCL setelah lahiran..., lanjutku dalam hati. Ugh!

"Luh, apa segitu desperate-nya ya hidup lo setelah putus dari Sam?" tembaknya begitu Laras meninggalkan ruang ganti. "Maksud gue, ini udah mau setahun dan gue lihat keadaan elo makin ke sini malah semakin kacau."

Mbak Mala masuk kategori orang yang paling peduli di kantor meski seringnya bersikap ketus. Dia tahu mengenai hubunganku dengan Sam sejak awal, tetapi selama tiga tahun merahasiakannya dari banyak orang. Dia yang memergoki kami berciuman pada hari setelah aku mendapat promosi dan rapat pengangkatanku sebagai presenter, dan dia tidak melaporkannya kepada Mas Bara ataupun Mas Adin. Dia yang bisa dengan mudahnya menebak bahwa setelah putus dari Sam, I tried my best to get him off my head. Dia yang berani menegur tentang perubahan sekecil apa pun dariku yang bisa mengganggu pekerjaan. Dan dia pula yang rela meluangkan waktunya untuk menemuiku empat tahun yang lalu, hanya untuk mengucapkan selamat, dan masih di tempat yang sama saat ini, dia menghampiriku hanya untuk mengingatkan. Not as a boss, but of course as a friend.

"Luh, lo dengerin gue ngomong, nggak sih?" Suara tegas Mbak Mala kali ini merenggut kesadaranku. "Tuh kan, lo mulai nggak fokus lagi," omelnya begitu mendapati ekspresiku yang kaget.

"Maaf, Mbak," kataku cepat-cepat, "aku hanya nggak tau cara—"

"Kalau lo kayak gini terus, Luh, inget dong perjuangan si Sam dulu yang rela keluar hanya agar elo bisa bertahan di sini, melanjutkan karier yang selama ini lo impikan. Zaman sekarang, ya, mana ada sih cowok yang berani ngambil keputusan bego kayak gitu, kalau dia nggak benar-benar cinta ke elo?"

Atau, kalau bukan Sam orangnya, apa masih ada laki-laki lain yang mau berkorban seperti itu?

Kenapa nggak sekalian bilang begitu, Mbak? Memangnya, harus banget ya, menyinggung-nyinggung masa laluku bersama Sam? Kalau sudah begini, aku hanya akan teringat pada keegoisanku sendiri, pada kepicikanku sendiri. Sam rela melepas pekerjaannya, menjadi seorang pahlawan yang berkorban demi karierku, tapi sayangnya, dengan keadaanku yang sekarang, seolah-olah aku sama sekali tidak menghargainya. Padahal bukan begitu. Justru keadaanku sekarang adalah bentuk penyesalan yang menyaru menjadi tindakan-tindakan impulsif dan berakhir seperti ini.

"Luh, lo tau banget kan kalau selama ini gue bisa menolelir kesalahan-kesalahan yang lo buat, sebesar apa pun itu?" Mbak Mala melipat kedua tangannya di depan dada—itu artinya dia sedang sangat serius. Masih dengan gaya yang sama, dia melanjutkan, "Tapi, Mas Bara, apalagi Mas Adin, nggak bakalan memperlakukan karyawannya kayak gue ke elo. Dengan elo yang begini Luh, gue nggak tau nasib karier elo ke depan bakal kayak gimana."

Nasib karieku?

Aku butuh seseorang yang bisa kuajak bicara mengenai itu. Dan orang yang kubutuhkan itu, yang biasanya membuat keadaanku baik-baik saja, yang biasanya mengubah hari yang buruk menjadi hari yang diisi dengan derai tawa, malah kusia-siakan begitu saja sehingga menumbuhkan perasaan sesal yang semakin rimbun dalam diri. []



Di sela kesibukan #ElexFest kemarin dan juga kerjaan-kerjaan yang tak ada habisnya, akhirnya saya bisa re-publish bab 8 ini. Tentang Luh yang setahun pasca putus dari Sam dihinggapi penyesalan. Lalu gimana dengan Sam. Apa dia ambil kerjaan yang ditawarkan kedua sahabatnya, yang menjanjikan bisa mendapatkan seribu gadis seperti Luh setelah dia kembali bekerja?

Saya punya jawabannya di bab 9.

Head Over Heels (Kisah Cinta Ironis Sam dan Luh)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora