bab 1 - Manar; goodboy yang jadi idaman

139 14 0
                                    

Semesta panas dan keras. Dan bebas dan keras. Makanya mikir, biar ngga terus-terusan jadi ampas. Sekalinya mikir, eh malah terhempas.

~ENJOY~

Now Playing : Canggih - Petra Sihombing

[Manar Fuadi Rafsanjani]

Sumatra Barat, satu bulan yang lalu.

"Go Manar go!!!"

"Manar gantengkuuuu"

"Semangat ayang Manar kuuuu"

"Ihh lucuu bangett Manar kuu"

"i love uu Kak Manarr"

Gue berlari ke arah Figo yang tengah mendribling bola sambil mikir teknik menembak yang pas. Tanpa pikir panjang, gue langsung ambil alih bola basket itu. Beberapa kali mendribling, langsung gue tembak ke ringnya. And.....

"GOLLLLLLLL!!!!!!!"

"AAA MANAR PANUTAN KUUU"

"JAGOAN KU AKHIRNYA MENANG BANYAK"

"I LOVE U MANARR KUUU"

Jumlah skor akhir adalah 4-2, dengan team gue sebagai pemenangnya. Dengan ini, pertandingan selesai. Gue dan yang lain langsung menuju ke pinggir lapangan untuk istirahat.

"Ah bangke, fans lu koar-koar mulu, bikin konsentrasi gue buyar tau gak, dikira lagi nonton pertandingan bola kali" kesal Figo

Gue hanya melengos tak banyak peduli. Ya mau gimana lagi. Gue ganteng, smart, tajir, penuh karisma, ya mana ada cewek yang mau nolak gue. Yang ada, gue yang nyuekin mereka.

Contohnya ya kayak tadi. Padahal ini pertandingan biasa. Cuma lagi gabut aja karena free class. Jadi, gue dan temen-temen langsung ke lapangan basket buat tanding. Eh, tau-tau jadi banyak yang nonton. Tambah lagi, lagi, lagi, dan jadi makin banyak. Udah kayak pertandingan basket nasional aja.

Lapangan basket yang siang itu sangat terik, tidak menyurutkan semangat para fans gue buat teriakin nama gue dari arah koridor, tangga, pinggir lapangan, sampai koridor lantai dua pun kini penuh anak-anak yang lagi nontonin pertandingan basket ini. Gila, gue berasa jadi artis!

"Heh lu dipanggil ke ruangan nya Pak Edi sekarang" ucap salah satu siswa yang mendekat ke arah gue

Hening sesaat.

Gue melirik ke arah teman-teman gue yang masih acuh sama kedatangan cowok satu ini.

"Elo ngomong sama siapa? Gue?" tanya gue memastikan

"Iya, elo, Manar, dipanggil ke ruangan nya Pak Edi, sekarang" ucapnya mengulang

"Ngapain?"

"Mana gue tau" jawabnya singkat, lalu segera balik badan dan pergi

"Lah gue sendiri?" teriak gue

"Iya!" jawabnya sambil teriak juga

What happen?

For your information, Pak Edi adalah guru bk di SMA Bimasakti 74 Sumatra Barat. Umurnya kisaran 40-42 tahunan. Killer, dingin, dan sorot matanya yang tajam membuatnya ditakuti oleh seluruh siswa di Bimasakti. Dan dia adalah guru bk yang menangani siswa terkait kasus berat tertentu yang melanggar tata tertib sekolah.

So? Gue gak merasa abis ngelakuin kesalahan berat sampai harus berurusan sama bk.

Dengan kepala yang penuh utas-utas pertanyaan. Gue terus melangkah menuju ruang bk.

"Maaf Pak, Bapak manggil saya?" tanya gue

"Manar Fuadi?" ucapnya malah balik tanya "Silahkan duduk dulu, ada yang perlu saya bicarakan dengan mu"

Cukup lama gue mendengar ucapan basa-basi dari guru killer ini. Panas, gerah, padahal AC-nya udah dinyalain. Laper, ngantuk, bosen duduk. Dan semua ketidaknyamanan yang gue rasakan saat ini. Seseorang, bawa gue pergi dari sini secepatnya!

Eh langsung terkabul.

"Pertukaran pelajar Pak? Are u kidding me?"

"This is not bad Manar, you're lucky!"

Lucky katanya? Ini benar-benar gila.

"Surat-surat kepindahan kamu sedang diurus oleh pihak sekolah, dan minggu depan kamu-"

"Apa orang tua saya sudah tau?"

"Pastinya"

"Oh, thanks Pak, saya harus balik ke kelas" pamit gue pada akhirnya

Di sepanjang koridor, gue terus mengamati amplop tadi. Terutama bagian kop surat, tertulis nama sekolah, Sun Flower School Jakarta, this is so far!

**

Jakarta, satu bulan kemudian.

Orang bilang Jakarta panas, bebas, dan keras. Gue tinggal di salah satu kost yang kebetulan disana juga ada beberapa murid SFS yang sekost sama gue.

Yang paling akrab, Hazam. Kebetulan juga sekarang kita sekelas. Hazam itu tipe-tipe cowok introvert. Pembawaannya kalem, irit bicara, tapi juga pintar. Denger-denger rata-rata rapotnya cuma selisih dikit sama Denis-- cowok yang terpilih mewakili sekolah untuk ajang pertukaran pelajar, kayak gue ini.

Ini minggu ke empat gue hidup jadi anak rantau. Ngga banyak kendala-kendala lain yang gue rasain selain bangun pagi yang nyaris telat kalau saja suara ibu kost gue tidak menggema dan terus menggedor-gedor pintu kamar kost gue setiap pagi.

"Lo harus banyak belajar jadi anak rantau" ucap Hazam yang terdengar seperti meledek

Gue hanya mendengarnya samar karena pagi ini jalan utama menuju ke sekolah macet total. Untung saja Hazam punya alternatif jalan pintas agar kita tidak perlu repot-repot terjebak kemacetan itu.

Sebenarnya motor kesayangan gue udah dikirim dari Sumatra sekitar seminggu yang lalu. Bahkan sekarang udah terparkir rapih di dalam rumah kost gue. Cuma gue lagi mager. Jadi tiap hari gue bonceng Hazam terus. Itu juga karena setiap pagi gue masih ngantuk sebenarnya, jadi jaga-jaga aja biar lebih aman mending bonceng kan?

"Lama-lama juga bakal terbiasa Zam. Cuma sekarang lagi males aja" jawab gue sambil menyandarkan kepala di punggung Hazam.

Masa bodo dengan para pengendara lainnya yang melihat gue dengan tatapan sinisnya, agaknya sedikit risih dan terganggu.

"Alahh lu mah males mulu tiap hari"

Gue hanya menyinggungkan seutas senyum di bibir. Benar juga kata Hazam. Selama jadi anak rantau, mana pernah gue punya semangat hidup. Bahkan untuk ngegame yang udah jadi bagian hidup gue aja suka males.

-o0o-

author note :

hm, part lama.


ELDER [Complited] ✅जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें