[21] Work Termination

5.9K 451 14
                                    

Author POV.

"Sayang, dengarkan dulu penjelasanku.."

"Aku tahu kau sangat mencintai pekerjaanmu.. Aku paham.."

"Tapi kumohon, ingat usia kandunganmu saat ini. Aku tidak mau kau terlalu lelah, itu akan sangat membahayakanmu dan aegi kita.."

"Jieun-aa.. Can you hear me?"

Seperti itu kiranya ucapan Seokjin beberapa jam yang lalu saat ia bersusah payah membujuk istrinya yang tengah merajuk padanya.

Sejam yang lalu saat mereka masih di rumah sakit, Jieun mendadak tidak sadarkan diri dan akhirnya dibawa ke unit gawat darurat rumah sakit. Memang akhir-akhir ini rumah sakit kedatangan banyak pasien.

Dokter Go—dokter yang memeriksa Jieun—mengatakan bahwa Jieun tengah dalam kondisi yang lemah, ia terlalu kelelahan dan juga pola makan yang tidak teratur. Ia membutuhkan banyak istirahat mengingat usia kandungannya yang sudah mencapai enam bulan.

Akhirnya setelah Jieun sadar dan menstabilkan tubuhnya, Jieun diperbolehkan pulang untuk istirahat, dan juga karena kebaikan pihak rumah sakit, Jieun diizinkan untuk cuti terlebih dahulu.

Dan Seokjin, sejak dari tadi ia bingung untuk membujuk Jieun untuk berbicara baik-baik dengannya. Segala cara sudah Seokjin lakukan untuk mengembalikan mood istrinya.

Bagaimana Jieun tidak marah kepadanya. Seokjin memintanya untuk berhenti bekerja dan fokus pada urusan rumah. Seokjin tak ingin Jieun kelelahan lagi dan berakibat buruk pada kondisi Jieun sendiri dan juga calon anaknya.

Kemudian juga Jieun, ia tidak bisa menerima keputusan yang Seokjin buat sendirinya. Ia masih menginginkan dunia kerjanya. Profesi yang iya cita-cita kan sejak kecil, harus ia relakan dengan cepat.

Pikir Jieun, ia masih sanggup untuk melakukan semua pekerjaannya, dan jika cuti pun Jieun fine-fine saja namun ia ingin cuti saat kandungannya berusia delapan bulan.

Tapi, sekali lagi tapi, Seokjin tidak mengijinkannya. Seokjin masih bisa membiayai semua kebutuhan dirinya, Jieun, dan calon anaknya kelak.

*****

Kini Jieun tengah berbaring menyamping membelakangi Seokjin yang tengah duduk di atas ranjang sembari mengecek beberapa lembar dokumen.

Mata Seokjin melirik wanita hamil yang tengah terbaring disampingnya, sesekali ia juga mendengar isakan yang keluar dari mulut Jieun.

"Hiks!"

"Hiks! Eomma.."

Cukup sudah! Seokjin tidak tahan lagi dengan suara yang membuat ia tidak bisa berpikir jernih. Isakan yang keluar dari wanita yang mengisi seluruh hidupnya membuatnya merasa seperti seorang pria yang gagal.

Disimpannya lembaran kertas tersebut didalam laci yang ada di samping ranjang. Kemudian Seokjin mengubah posisinya menjadi sedikit berbaring dengan lengan dan siku kirinya yang ia jadikan sebagai tumpuannya.

Jieun tercekat saat merasakan tangan hangat Seokjin menyentuh bahu kanannya. Isakannya pun juga terhenti saat Seokjin membisikkan sesuatu di telinganya.

"Jangan menangis, itu menyakitiku.." Satu kecupan hangat menyapa pipi kanan Jieun. Seokjin mengecup pipinya seperti biasanya, kecupan yang hangat dan menenangkan hatinya.

Perlahan Seokjin membalik tubuh Jieun untuk berhadapan dengannya. Awalnya Jieun memberontak, namun akhirnya Jieun menurut dan berbalik menghadap Seokjin yang kini juga membaringkan tubuhnya.

Jieun sangat terlihat kacau, matanya sembab, hidungnya yang memerah karena terlalu lama menangis dan juga rambut yang tak lagi tertata rapi. Hati Seokjin merasa sangat nyeri saat melihat orang yang dicintainya terlihat mengenaskan seperti ini.

Tangan Seokjin terulur untuk mengusap rambut hitam Jieun, mengusapnya pelan mencoba menyalurkan rasa tenang padanya.

"Sayang.. Jangan seperti ini, eum.."

Jieun tak menjawab, ia masih saja mengatupkan bibirnya dan tak ingin menggubris perkataan Seokjin.

"Dengarkan aku baik-baik,.. Dan tolong berpikir sekali lagi.." Ucap Seokjin lembut dan kemudian menghela nafasnya pelan.

"Pertama, maafkan aku karena membuatmu marah dan kesal kepadaku, kedua, mengenai pemutusan hubungan kerja, aku tak berniat untuk membuatmu seolah-olah kau kehilangan cita-cita yang pernah kau impikan.. Aku hanya tak ingin kau merasa kelelahan, apalagi bayi yang kau kandung bertambah usianya dan juga akan bertambah berat bebannya.. Sedangkan di rumah sakit, saat kau bekerja, tak mungkin kan jika kau terus-menerus mengurus semua pasien, mondar-mandir kesana kemari, itu akan mempengaruhi kesehatan aegi kita. Dan ketiga, sekarang terserah kau saja, pintaku hanya ingin kau tetap di rumah, dan fokus padaku, bayi yang kau kandung dan juga rumah ini. Apa kau tak ingin melihat anak kita kelak tumbuh? Apa kau rela mengasuhkannya kepada babysitter? Dan juga saat ia tumbuh semakin besar, apa kau tak ingin mendengar ia berkata 'eomma' untuk pertama kalinya?"

Tak disangka, air mata Jieun meluncur kembali dari pelupuk matanya. Mendengar penjelasan dari Seokjin membuatnya merasa seolah gagal menjadi istri dan calon ibu yang baik bagi anaknya kelak.

Perkataan Seokjin seluruhnya benar. Dia saja yang tidak mencerna dahulu penjelasannya.

"Aku tidak memaksamu untuk ini, aku akan sangat bahagia jika kau menuruti permintaanku, dan jika kau menolaknya, tak apa jika itu menurutmu benar. Aku mencintai kalian.."

Kecupan hangat menyapa kening Jieun, membuat tangisnya tak terkendali lagi. Dengan cepat Jieun memeluk tubuh Seokjin dan membenamkan kepalanya ke dada bidang Seokjin.

"Seokjin, maafkan aku.. Hiks!.." Lirih Jieun sambil menangis tersedu-sedu. Air mata tersebut mengalir membasahi piyama Seokjin.

Seokjin pun juga merespon pelukan Jieun dengan mengusap punggungnya. "Tidak apa-apa jika kau ingin tetap bekerja. Jadi, kumohon jangan menangis.."

Jieun menggeleng cepat di dada Seokjin. "Seokjin.., aku merasa gagal menjadi istri yang baik, yang mendengarkan ucapan suaminya, aku gagal menjadi calon ibu yang baik, hiks! Maafkan aku, Seokjin.. Hiks! Aku tak becus dalam merawatnya, aku hampir mencelakainya.. Aku gagal menjadi calon ibu, Seokjin.. Aku gagal! Hiks! "

"Tidak, kau tidak salah, Sayang.. Seharusnya aku memahamimu.." ucap Seokjin semakin mendekap tubuh berisi tersebut.

"Aku bersedia mengundurkan diri dari pekerjaanku, aku akan mengurus rumah.. Aku bersedia, Seokjin.. Maafkan aku jika aku selalu memutuskan sesuatu tanpa harus berpikir dahulu, maafkan istrimu yang serba salah ini.."

Seokjin menyunggingkan senyumnya mendengar keputusan dari Jieun. Dikecupnya kening itu beberapa kali dan melafalkan beberapa kalimat syukur kepada Tuhan.

"Terimakasih, istriku.. Kau yang terbaik.. Aku mencintaimu.."

Jieun mengangguk mantap dan menjauhkan kepadanya dari dada Seokjin. Tangannya terulur sebelah untuk memegang tengkuk Seokjin dan akhirnya menyatukan bibirnya dengan bibir Seokjin.

Seokjin pun awalnya terkejut, namun akhirnya ia mulai untuk menggerakkan bibirnya dan memagut bibir ranum Jieun. Melumatnya pelan dan dalam, beradu lidah dengan istrinya.

Setelah beberapa menit mereka berciuman, Seokjin melepas tautan tersebut dan tersenyum manis dihadapan Jieun. Pipi Jieun bersemu merah, entah kenapa, Jieun akan merasa malu saat Seokjin menatapnya lekat dengan tersenyum.

"Seokjin?" Panggil Jieun malu-malu.

"Ya?"

"Eumm.. Kurasa aegi kita menginginkan ice cream lagi.."

To Be Continuous.
Noona Tae💜

Lanjut or no?

ICE - Kim Seokjin [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang