41 - Rachel Harriet

9.2K 1.3K 72
                                    

Tangisan Airin adalah hal yang pertama kudengar setibanya aku di depan ruangan tempat Damian tengah ditangani oleh pihak rumah sakit. Tak jauh dari sana, Harlert tengah berusaha menenangkan Lilac yang sesengukan dan sesekali sesak napas hingga harus menggunakan inhaler. Sementara itu, Eric berusaha meredam perasaannya. Meskipun begitu, air mata masih bisa meloloskan diri dari matanyaㅡyang dengan cepat dihapus oleh Eric.

Suara pintu ruang UGD yang dibuka membuatku menoleh dan menemukan Nal yang keluar dengan pakaian perawat.

Ah, perasaanku tidak enak.

"Atas nama pasien... ah, kalian rupanya," ucapnya sesaat melihat kami.

Airin langsung berlari ke arah Nal dan memegang kedua tangannya. "Apa Damian baik-baik saja? Dia tidak mengalami luka serius 'kan? Dia masih bisa menjalani hidup seperti biasa 'kan?"

"Tenanglah dulu," Nal mengelus tangan Airin, mencoba menenangkannya. "Kami akan berusaha semaksimal mungkin untuk menolong pasien."

"Syukurlahㅡ"

"Tetapi, ada hal penting yang harus kusampaikan kepada kalian," potong Nal. Dia langsung mengecek data-data yang ada di tangannya. "Kedua pasien kekurangan banyak darah, dan sekarang ini kami tidak punya darah yang cocok untuk diberikan kepada mereka."

Oh, Tuhan. Tidak bisakah semua ini menjadi sedikit lebih baik?

"Apa di antara kalian ada yang bersedia mendonorkan darah untuk pasien? Atau harus ku bilang, Damian dan Arash?"

Eric langsung mengangkat tangannya. "Biar aku yang mendonorkan darah untuk Arash," ucapnya mantap. Baru pertama kalinya bagiku melihat kilatan penuh tekad di matanya.

"Kau yakin? Bukannya kau menjerit histeris terakhir kali kau disuntik?"

"Ya, memang," Eric menatap Harlert tajam. "Tapi, aku tidak akan membiarkan ketakutanku menghalangi keselamatan adikku."

Eric pun mendekati Nal. "Apa aku perlu menjalani beberapa tes untuk mendonorkan darah?"

Nal kembali mengecek data yang dia bawa. "Kami akan melakukan screening untuk memeriksa kondisi tubuhmu. Apabila kau memenuhi semua persyaratannya, maka kau bisa mendonorkan darah," jelas Nal.

"Dan untuk Damian... apa ada yang bersedia?"

Kami semua saling berpandangan. Tidak ada yang tahu apakah di antara kami ada yang memiliki darah yang cocok dengan Damian.

"Kurasa ada baiknya kita semua menjalani tes. Siapa tahu di antara kita ada yang darahnya cocok dengan Damian," ujarku. "Ingat, kita harus saling menjaga sampai kita bisa kembali ke Worldhole," lanjutku setengah berbisik.

"Kalau begitu, aku ikut," celetuk Airin tanpa keraguan sedikitpun.

Tidak ada yang membantah usulanku. Kami pun berakhir menjalani berbagai tes untuk memastikan apakah salah satu dari kami memiliki darah yang cocok dengan Damian. Aku sesekali melirik ke arah Eric. Tadi Harlert bilang kalau Eric pernah menjerit saat disuntik, dan aku yakin, Eric tengah menjerit di dalam hati saat gilirannya untuk diperiksa tiba.

Bagaimana aku tahu? Wajahnya yang pucat sudah memberikan jawaban yang kucari.

"Hm? Kau sudah selesai rupanya." Aku menoleh dan menemukan Harlert yang baru saja keluar.

"Yah, begitulah."

Suasana kembali hening, kemudian Harlert kembali membuka mulutnya, "Apa kejadian ini ada kaitannya dengan kembalinya ingatan Arash dan Damian?"

"Kurasa memang itu penyebab utamanya," jawabku. "Dan sepertinya, Ashton mengetahui sesuatu yang tidak kita ketahui."

"Haruskah membicarakan ini dengan yang lain?"

SEPARATEDOnde histórias criam vida. Descubra agora