9 - Damian Winter

11.2K 1.5K 102
                                    

Aku terbangun di atas tempat tidurku yang nyaman. Aku menoleh ke arah jendelaku yang terbuka lebar—kemungkinan besar aku lupa menutupnya saat mau tidur. Langit di luar masih gelap gulita, sumber cahaya yang tersedia hanyalah lampu jalan yang bahkan tidak becus menerangi jalan.

Dengan malas kuambil jam wekerku yang berada di atas nakas. Di luar dugaanku, jamnya mati.

Hm, biar kutebak.

Aku kembali terjebak di dalam mimpi burukku.

Aku membuang selimutku jauh-jauh saat sesuatu menyentuh kakiku. Benar saja, gadis putih itu tertidur di sebelahku. Kemeja hitam kesayanganku dipakai layaknya cardigan.

Baik, Damian. Siapkan mentalmu untuk penalti hari ini.

"Tenang saja, aku tidak berniat untuk menyiksamu hari ini." Aku bergidik ngeri saat gadis putih itu berbicara. Dia pun bangkit dan duduk di hadapanku. "Aku punya cara lain untuk mengingat siapa dirimu yang sebenarnya."

"Jadi, cara seperti apa?" tantangku. "Apa kau akan melilit leherku dan menggantungku saat aku salah menjawab? Atau menceburkanku ke dalam akuarium penuh kecoak?"

"Yang pasti lebih baik dari itu," jawabnya. Dia pun melompat turun dari kasur dan berjalan keluar kamarku. "Lebih baik kita bicarakan sambil makan roti isi. Aku lapar."

Mau tak mau, aku mengikuti perintahnya.

Oh, aku baru menyadari sesuatu.

Aku cuma memakai boxer saat tidur dan dengan bodohnya aku menyingkirkan selimutku begitu saja.

Sepertinya lain kali aku harus menyetel reminder di ponselku agar tidak lupa memakai celana piyamaku saat tidur.

Tak sampai 5 menit, aku turun dengan celana piyamaku. Aku tidak bisa menemukan atasannya jadi, masa bodolah. Lagipula ini cuma mimpi. Aku yakin sebentar lagi Airin akan datang dan membangunkanku.

Baru saja aku sampai di dapur dan sosok gadis itu langsung tertangkap mataku. Dia berjinjit setinggi yang dia bisa dan sesekali melompat karena tangannya tidak bisa meraih laci dapurku yang penuh dengan makanan. Terlebih lagi dominasi warna putih dari ujung kepala sampai ujung kakinya entah kenapa membuatku teringat pada kelinci putih milik tetangga yang sering nyasar dan numpang makan di rumahku—dan kemudian menendang wajahku saat aku mengangkatnya.

Tidak ada bedanya dengan gadis itu.

"Minggir, pendek," celetukku dan menggeser gadis itu—yang sekarang tengah mencak-mencak karena tidak menerima kenyataan bahwa tubuhnya semampai (semeter tak sampai).

Gumaman penuh caci maki yang keluar dari bibirnya terhenti saat aku menyodorkan sepiring penuh roti lapis.

"Terima kasih!" katanya dan memakan satu. Kemudian berhenti. "Es krim? Rasa vanilla?"

Aku mengangguk. "Aku selalu membeli es krim vanilla. Padahal aku nyaris tidak pernah menyentuhnya."

"Jadi ya, kupakai buat roti isi. Siapa tahu es krimnya kadaluarsa terus ternyata ada sianidanya."

"Kau ingat saat aku bilang kita saling mengenal?" tanyanya. Otakku langsung berusaha mencari mimpi yang gadis itu maksud. Meski ingatanku tidak terlalu jelas, aku mengangguk. "Aku menyukai es krim vanilla."

"Maksudmu, secara tidak sadar aku masih mengingatmu?"

"Aku tidak tahu pasti. Yang aku tahu, kalau aku membocorkan seluruh ingatanmu, kau bisa lebih tersiksa," lanjutnya.

Hm, lebih tersiksa, ya?

Siksaan gadis ini saja sudah membuatku gila dan ternyata ada yang bisa membuatku lebih tersiksa?

SEPARATEDWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu