23 - Arash Crimson

9.7K 1.4K 35
                                    

Aku mengernyitkan dahiku. "Kalian ngomong apa, sih?" desisku. Aku baru saja bangun dari tidur siangku dan malah diserbu dengan pertanyaan-pertanyaan Eric.

"Itu matamu, Arash. Matamu!"

"Memangnya mataku kenapa? Seksi? Itu mah sudah jelas."

Tak.

"Aduh, kok mukul, sih?"

"Maaf, tanganku kepeleset."

Aduh, susah kalau bicara dengan manekin hidup macam Rachel.

Eric pun meninggalkanku. Dan kembali dengan cermin besar di tangannya. Tepatnya dia mencopot cermin yang tergantung di kamar mandi.

"Ini, coba lihat matamu!" pekiknya dan menyodorkan cermin di tangannya ke wajahku.

Aku pun mengurungkan niatku untuk menceramahi Eric dan melihat ke arah cermin.

"Mataku ... merah? LHO KOK MERAH?"

"Nah, makanya! Kenapa bisa jadi merah begitu? Mata Damian jugaㅡ dimana dia?"

Aku menoleh ke tempat Damian berada. Nihil. Sepertinya dia sudah melipir duluan sebelum Ericㅡdan mungkin juga Rachelㅡbertanya macam-macam.

Bagus. Sekarang aku terjebak di antara dua orang yang dipenuhi rasa penasaran, sementara aku sendiri tidak tahu mau menjawab apa.

"Apa mungkin ini ada hubungannya dengan Eric?" celetuk Rachel. "Bisa jadi kau perlahan berubah seperti Eric."

"Aku? Berubah seperti Eric? AHAHAHHAHAHA tolong jangan ...."

"Kalau begitu dengarkan aku," Rachel pun menjatuhkan dirinya ke sofa. "Saat kita semua sudah berkumpul, aku ingin bicara serius dengan kalian."

"Memangnya sejak kapan kau tidak serius?"

"Dengarkan aku kalau kau tidak mau berakhir seperti kakakmu."

"Tch, baik."

Rachel pun menyilangkan kakinya. "Aku dapat informasi dari seseorangㅡkalian tidak perlu tahu siapa. Katanya, kalau kita bisa mengetahui siapa diri kita yang sebenarnya, kita bisa kembali ke tempat asal kita," jelasnya.

"Dan ya, kita bukanlah manusia."

Aku terdiam, berusaha mencerna ucapan Rachel.

"Jadi ada kemungkinan kalau aku dan Harlert akan berubah seperti Eric?"

"Sepertinya begitu," jawab Rachel. "Tapi aku tidak tahu pasti kalian itu sebenarnya apa."

"Kalau Rachel sendiri? Apa kau tahu wujud aslimu?" tanya Eric.

Aduh, anak ini kalau bicara tidak punya malu atau apa.

"Penyihir."

"Eh? Apa kau bilang?"

"Ya, kalian tidak salah dengar. Aku penyihir. Tepatnya penyihir putih," Rachel mengulangi ucapannya tanpa sedikitpun keraguan tersirat.

"Dan dari mana kau tahu kalau kau itu penyihir putih? Bisa jadi kau ternyata penyihir hitam, bukan?" desakku.

"Aku tahu dari seorang mayat yang terus mengikutiku kemanapun aku pergi. Dan juga rasa sakit seperti dirajam ribuan batu yang kudapatkan saat mengetahui bahwa aku penyihir putih."

"M-mayat?"

"Ya, mayat. Dia yang memberitahuku semua ini."

Aku menelan ludahku. Entah kenapa aku makin ragu kalau Rachel itu penyihir putih.

"Haaah, sudah dulu ceritanya. Akan kulanjutkan saat semuanya sudah berkumpul. Aku tidak suka mengulang ucapanku," ujar Rachel dan bersandar malas ke sofa.

SEPARATEDWhere stories live. Discover now