17 - Rachel Harriet

10.8K 1.5K 37
                                    

Pukul 15.45

Perjalanan ke rumah si kembar tiga benar-benar memakan waktu akibat kemacetan yang tidak diketahui penyebabnya. Ini saja masih belum melewati kawasan rumah Damian yang notabene-nya pemilik rumah terdekat dari sekolah—kalau dibandingkan dengan teman ngumpul kami yang lain.

Aku menghela napas kasar. Novel filsafat di tanganku terbuka lebar, tetapi entah kenapa aku tidak tertarik untuk membacanya. Padahal, AC bus sekolah sudah cukup dingin dan kemacetan membuat bus yang kunaiki tidak bergerak sama sekali. Intinya, situasi dan kondisi sekarang sangat memadai untuk membaca.

Tetapi, rasa sakit di bahuku berkata lain.

Tentunya bukan karena tasku yang berat, melainkan kepala Harlert.

Kenapa tidak dibangunkan?

Oh, demi Tuhan, aku sudah mencoba membangunkannya—mengusir—berkali-kali, tapi tetap saja dia tertidur layaknya orang koma. Dan satu-satunya hal yang terlintas di kepalaku saat melihatnya tidur sampai begitu hanyalah: apa mengurus Eric sesulit mengurus bayi?

Dan lagi, Damian yang tertidur di depanku sembari berdiri membuatku was-was. Kalau dia jatuh, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Terutama karena kepala Harlert yang mengganggu pergerakanku.

Dan Tuhan baru saja mengabulkan mimpi burukku.

Sang supir tancap gas saat kemacetan berakhir—dan tentu membuat Damian di hadapanku kehilangan keseimbangan.

Ini akhir hidupku.

Selamat tinggal dunia.

Semoga Airin tidak kenapa-kenapa saat aku mati.

"Hoi, kau tidak apa-apa?"

Aku membuka mataku karena tidak ada beban—Damian—yang jatuh menimpaku setelah beberapa lama.

Dan menemukan Ashton tengah menahan Damian—yang masih tertidur pulas.

"Mau apa kau kemari?" desisku.

"Apa hakmu melarangku ke sini? Lagipula ini bus umum. Gratis pula. Wajar saja aku pulang naik bus ini," balasnya.

Kenapa di saat seperti ini aku malah kalah adu mulut dengannya?!

"Tch, terserah."

Ashton kembali membuka mulutnya. "Apa gosip kau pacaran dengan Harlert ternyata benar?"

"Hah? Bukti apa yang kau punya sampai berani bilang begitu?"

"Itu," jawab Ashton sembari menunjuk kepala Harlert. "Buktinya dia tidur di bahumu. Apa itu tidak cukup?"

Aku memijit pangkal hidungku. "Dia terlelap dan kepalanya jatuh ke bahuku. Aku sudah mencoba membangunkannya, tapi sia-sia."

"Oh."

"Sekarang giliranku," lanjutku. "Apa gosip kalau kau menyukai Airin—"

"Ah, aku turun di sini. Sampai jumpa," potong Ashton dan melesat keluar dari bus begitu saja—tanpa peduli kalau dia baru saja menjatuhkan Damian.

"Kuanggap itu benar," gumamku dan kembali berusaha membaca novelku. "Dan sepertinya dia lupa kalau rumahnya masih 17 blok dari sini."

ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ

Sejak aku menginjakan kaki keluar bus sekolah, aku cuma bisa menghela napas pasrah. Harlert masih tewas dan aku terpaksa menggendongnya turun. Sungguh, aku risih saat orang-orang di bus memperhatikanku yang membawa Harlert turun dari bus.

Tenanglah, aku tidak berusaha menculik dan menjual organnya, kok.

Lagipula siapa tahu Harlert ternyata bernasib sama seperti Eric dan orang yang membeli organnya malah berubah menjadi makhluk jadi-jadian juga.

SEPARATEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang