1 - Damian Winter

33.9K 2.5K 345
                                    

KRIIINGG...

Mataku tersentak terbuka karena bunyi jam alarm-ku yang semakin lama semakin memuakkan. Keluhan kesal berhasil lolos dari mulutku untuk yang sekian kalinya. Dengan mata yang masih tertutup rapat, aku meraba-raba nakas di sebelah kasurku, berusaha mencari sumber suara, dan melemparnya ke dinding.

Akhirnya jam sialan itu mati juga.

Entah sudah berapa puluh jam beker yang bernasib naas karena berciuman dengan tembok kamarku.

Gadis anonim yang selalu datang ke mimpiku benar-benar membuatku kacau. Aku pun kembali berkemul malas di dalam selimut karena rasa kantuk yang masih menempel di mataku.

Sampai dia datang.

BRAK!

"Damian, cepat bangun! Sudah waktunya untuk sekolah!" Pekiknya dan menarik selimutku. Kuakui, tenaganya cukup kuat untuk seorang gadis.

"Hm, lima tahun lagi..."

"Kau sudah gila, ya?!"

Dia menarikku hingga jatuh dari kasur.

Dan dengan mudahnya menyeret tubuhku masuk ke kamar mandi.

"Bergegaslah mandi sementara aku menyiapkan sarapan!" Perintahnya dan melempar handukku ke dalam kamar mandi.

Dan tidak pernah tahu kalau handuk yang dia lempar selalu mengenai wajahku.

Haah, aku hanya bisa mengumpat dalam hati dan melakukan apa yang teman semasa kecilku perintahkan.

ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ

10 menit kemudian, aku berhasil keluar dari kamar mandi tanpa tertidur di atas kloset. Aku menuruni tangga dan menemukan Airin tengah membuat roti lapis di meja makan. Bahkan dia juga membuatkanku bekal dan beberapa snack untuk nanti kumakan di sekolah.

Ada-ada saja teman yang satu ini.

Pandangan Airin pun terpaku pada seragam yang kupakai.

Oh, tidak lagi ...

"Damian, kancing bajumu dengan benar," desisnya memperingati. Aku mendesah kesal dan mulai mengancing dua kancing teratasku yang sengaja kubiarkan terbuka, memperlihatkan t-shirt hitam yang kupakai di dalam seragamku. "Selesai. Puas?"

"Pakai dasimu," tambahnya sembari memasukkan bekal yang dia buat ke dalam tasku.

Aku memutar mataku kesal dan mulai memakai dasiku asal-asalan. Yang penting dasinya sudah tergantung di kerah kemejaku.

Tetapi Airin tetap saja Airin.

Aku melirik jam tanganku. "Oh, ya ampun. Sudah jam 6.25."

Seketika itu juga Airin memakai tasnya dan menarikku keluar rumah. Tangannya yang satu lagi sibuk menenteng tasku. "Berhentilah bersikap malas dan membuatku kesulitan!" desisnya kesal dan memukulku dengan tasku.

Tenang saja, dia hanya bermaksud memberikan tasku dengan cara yang sedikit lebih menyakitkan.

Kami melewati halte bus dan melalui jalan tikus yang merupakan jalan pintas ke SMA kami. Meski jalannya kecilㅡdan dipenuhi tikus sesuai namanyaㅡsetidaknya tidak dipenuhi cewek-cewek centil yang selalu mengekoriku ke manapun aku pergi.

Tak lama kemudian, kami sampai di sekolah terkutuk kami. Setelah melewati pos satpam dan menaiki tangga, kami akhirnya sampai. "Pagi," sapa Airin saat masuk ke kelas kami, tepatnya X IPA 4.

Hening.

Airin melirik jam yang terpajang rapi di dinding.

Pukul 6.05.

SEPARATEDWhere stories live. Discover now