Epilog

7.4K 449 65
                                    

Cuaca di luar begitu cerah. Hamparan langit biru begitu indah dipandang mata. Sama halnya dengan matahari yang belum naik terlalu tinggi memancarkan sinar kehangatnya. Dedaunan pun ikut bergerak kecil kala angin menerpanya, menciptakan suasanya baru yang menenangkan.

Alam kini sedang tersenyum lebar, menampakkan kekayaan dan keindahannya. Namun pemuda yang berdiri tepat di depan jendela hanya menatap ke luar tanpa ekspresi, pandangannya kosong, bahkan tak sedikit pun tercetak senyum di bibir tipisnya.

Ia hanya menghela napas pelan sembari memejamkan mata. Suasana hatinya tetap tidak bisa sebaik suasana di luar sana. Ia menolak untuk percaya, tapi faktanya hari ini genap dua tahun sudah ia hidup tanpa orang yang paling berharga baginya. Dua tahun sudah adiknya pergi untuk selamanya meninggalkan luka yang begitu dalam, dimana luka itu masih terasa jelas sampai sekarang. Dan mungkin tidak akan pernah bisa hilang sampai kapan pun.

Pemuda itu memilih berjalan mendekat pada meja belajar tempat adiknya sering menghabiskan waktu, dulu. Ia meraih sebuah buku yang cukup tebal ditumpukan teratas, buku yang bertuliskan Biologi pada sampulnya. Dibukanya asal lembaran buku tersebut hingga mencuat selembar kertas yang dilipat dan sengaja diselipkan di sana.

Ayah, Bunda, atau Mas Tio. Siapapun yang nemuin tulisan ini. Mungkin sekarang Kana udah senyum tenang natap kalian dari atas. Jadi salah satu bintang diatas sana.

Maaf, udah ingkar janji. Maaf memilih mengakhiri sakit ini ketimbang bertahan. Ingin rasanya senyum lebih lama dengan kalian. Tapi ini udah takdir Tuhan. Walaupun Kana nggak ada. Kalian harus senyum, Kana benci liat kalian sedih.

Untuk mas Tio, makasih banyak. Udah ngizinin Kana jadi bagian hidup mas Tio. Tetep senyum ya, mas. Kana nggak mau liat kalian semua sedih.

Kana tau kalian sayang banget sama Kana, bahkan tanpa kalian mengatakan itu. Semua sudah terbukti. Makasih atas semuanya. Ikhlasin Kana ya, Kana cuma ingin kalian bahagia

Bahagia kalian bukan cuma Kana sepenuhnya. Dengan atau tanpa adanya Kana. Kalian harus bahagia.

Tangan Tio bergetar memegangnya, tidak disangka bahwa Kana benar-benar ingin meninggalkannya. Terlihat dari setiap kalimat pada surat itu. Matanya memanas menahan ribuan sesak dan kecewa pada Kana. Tio mengepalkan tangannya setelah melipat kembali surat tersebut. Tidak, ia tidak boleh egois. Kana sudah sangat menderita selama hidupnya, dan dengan Tio terus memaksa Kana untuk bertahan itu berarti Tio semakin menambah sakit yang Kana rasakan.

Satu bulir air mata jatuh, Tio segera menghapusnya kasar. Dia tidak boleh menangis, jika ingin membuat Kana tersenyum disana. Itu tertera jelas pada isi suratnya. Tapi kenapa? Kenapa harus ingkar janji, Kana?

Tio mengacak rambutnya, frustasi. Dua tahun berlalu, dua tahun juga dia melewatinya dengan rasa hampa. Tio berusaha menjalani hidupnya untuk tetap kuat, tanpa Kana. Tapi dirinya menolak mentah-mentah. Beruntunh masih ada Bunda, Ayah, serta teman-temannya yang lain. Yang selalu mendorong Tio untuk tidak terus terjebak dalam rasa bersalah. Dan menariknya bangkit dari keterpurukan.

Saat suara ketukan pintu terdengar, Tio segera menghapus sisa-sisa air mataya, melirik laci meja belajar Kana dan mengambil sesuatu dari sana lalu memasukkannya ke dalam saku celana jeans yang ia kenakan.

"Mas kamu lagi ngapain? Ga mau turun? Pada nyariin kamu tuh." Ayu berjalan mendekati Tio lalu mengusap pipinya.

"Kamu abis nangis?" Tebak Ayu.

Tio tersenyum, "Kangen Kana bun,"

Mendengarnya Ayu balas tersenyum, kali ini ia merangkul Tio penuh sayang. Mengusap lembut lengan anaknya sambil berjalan keluar, "Doain kalau kangen, jangan tangisin."

I Can't [Complete] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang