30. Rasa Yang Berkecamuk

6.1K 586 71
                                    

Tangis pilu kesedihan kini berubah menjadi tangis haru kebahagiaan. Beberapa jiwa yang beberapa hari ini merasa dipermainkan oleh takdir yang begitu pahit kini tidak lagi. Takdir baik masih ada dan akan selalu ada. Sumber dari semua kesedihan mereka telah kembali. Bulan mereka yang tadinya tak memancarkan sinarnya kini kembali bersinar, berkat bantuan bintang di sekelilingnya.

Kanaka kembali. Ia bangun. Ia tidak menyerah demi semua yang setia menunggunya dengan penuh ketegaran dan keyakinan yang tak pernah sedikit pun hilang. Walau ketegaran yang terlihat berbanding terbalik dengan hati mereka yang mengatakan takut kehilangan. Tapi mereka yakin bahwa kebaikan dan keajaiban Tuhan akan kembali datang seperti sebelumnya.

Keajaiban yang selalu membawa Kana untuk kembali membuka matanya. Dan mereka pun yakin Kana tidak akan menyerah begitu saja. Sangat mudah baginya untuk menyerah, Kana bisa menyerah kapan saja. Bahkan jika Kana ingin menyerah, Kana bisa menyerah saat ia baru dilahirkan ke dunia. Tapi Kana itu kuat, ia tidak ingin menyerah, ia memilih untuk tetap bertahan dan berjuang.

"Makasih nak, makasih." Ayu tak henti-hentinya mencium tangan Kana. Tidak peduli dengan oxymeter yang masih terpasang di jari telunjuk Kana. Ia merasa dunianya telah kembali setelah dokter mengatakan Kana membuka matanya.

Di samping Ayu, Tio mengelus punggung Ayu dengan mata berkaca-kaca. Senyuman yang beberapa hari ini jarang ia tampakkan, kini terbit dari bibirnya ketika melihat kondisi Kana yang sudah lebih baik dari sebelumnya.

Kana sudah dipindahkan ke ruang rawat biasa. Ventilator yang tadinya menyumpal mulutnya sudah dilepas digantikan dengan nassal canula, walau begitu kondisi Kana masih sangat lemah, dan kapan saja bisa kembali drop.

"Mas tau lo kuat!" Tio memegang kaki Kana. Kana sendiri masih setengah sadar dan belum bisa diajak berbicara. Sesekali ia membuka matanya, melirik orang di sekelilingnya lalu mengedipkan matanya pelan. Hanya itu yang bisa Kana lakukan, Kana ingin mengatakan ia baik-baik saja, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Namun apalah daya, jangankan untuk bersuara, bernapas saja ia kewalahan. Efek ventilator yang baru saja di keluarkan juga menimbulkan rasa sakit dan panas di tenggorokannya.

Kana melirik ayahnya yang datang diikuti utinya yang langsung berhambur menciumi wajahnya sambil menangis, "Alhamdulillah ya Allah terimakasih. Hebat! Kamu hebat." Tias tak henti-hentinya mengucap syukur kepada Tuhan.

Tanpa sadar Kana ikut meneteskan air matanya. Beruntung ia dilahirkan ditengah keluarga yang menganggap kekurangannya sebagai suatu kelebihan. Keluarga yang tidak pernah meninggalkan Kana dalam keadaan apapun.

"Hei adek kenapa nangis? Sakit banget ya?" Begitu melihat Kana meneteskan air matanya, Adhi mengulurkan tangannya mengelus dada Kana.

Kana menggeleng lemah. Bukan. Bukan karena rasa sakit di dadanya, rasa sakit seperti itu sudah berteman baik dengannya.

Melihat Kana menangis, Tio langsung menyentuh pundak Ayu pelan. Ayu menatap Tio sejenak, tanpa meminta penjelasan apapun ia bangkit membiarkan Tio menggantikan posisinya. Ayu tersenyum pada Tio dan sedetik kemudian mengangguk.

Tio menggenggam tangan Kana, ia tersenyum, "Pasti sakit banget ya?"

Tio menunduk, "Maafin mas, maafin gue dek. Gara-gara mas lu harus ngrasain sakit lagi. Gue egois, gu-"

Tio menghentikan ucapannya ketika genggamannya dibalas oleh Kana. Walau hanya dengan pergerakan kecil, tapi Tio tau maksud Kana adalah membalas genggamannya.

Kana mengangguk sebisa yang ia bisa, "M mas ga sa lah."

Mata Tio kembali berkaca-kaca. Ia tersenyum menatap adiknya, suara yang beberapa hari ini tidak ia dengar akhirnya kembali menyapa indra pendengarannya. Walau terdengar sangat lemah, Tio bersyukur masih bisa mendengar suara Kana.

I Can't [Complete] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang