19

18 1 0
                                    

sebelumnya mau minta maaf kalau ada typo atau any grammatical errors! aku blm baca ulang maupun revisi (:

jangan lupa untuk vomment!

\\

"Priscilla, Kinara, Sasha!" 

Priscilla, Kinara dan Sasha menoleh kebelakang, melihat Leo dan Edgar yang memanggilnya. Ketiga perempuan itu melihat khawatir dan masing-masing memegang HP, sesekali menaruhnya disebelah telinga. 

"Kalian tau Manila dimana ga?" Tanya Leo. 

"Pas istirahat kedua dia pergi ke tempat fotokopi tapi sampe sekarang ga balik-balik," Priscilla kelihatan begitu cemas kepada sahabatnya yang hilang tanpa kabar. 

"Kita udah telfon berkali-kali. 50 kali mungkin ada kali, tapi dia gajawab sama sekali,"

Leo dan Edgar saling menatap sesama penuh arti. "Makasih ya, coba terus hubungi dia," kata Edgar. Keduanya langsung berlari, menghilang dari pandangan Priscilla, Sasha dan Kinara. 

"Minggir!" Leo dan Edgar mendorong orang-orang yang jalan seperti siput ditengah lorong. Mereka harus cepat-cepat ke Gavin, yang juga sibuk menghubungi Manila. 

"Gav! Gavin!" Leo dan Edgar lari dengan kecepatan maksimal. Gavin sedang di meja paling pojok di kantin, terlihat cemas, memegang HPnya untuk menelfon sosok adiknya yang sedang hilang. Sedangkan anak Fuerza yang lain memencar di kantin, menanya orang satu per satu tentang keberadaan Manila. Kini sudah jam pelajaran terakhir, banyak orang yang masih berkeliaran karena kebetulan semua guru sedang ada rapat, jam kosong pun tiba. 

Gavin mendongak, mencari sumber sahutan yang memanggil namanya. "Gimana Le, Gar? Ketemu?" 

Leo menggelengkan kepalanya. "Ga, belum, tapi kata Kinara dia tadi izin keluar sekolah ke tempat fotokopi," 

Jantung Gavin seakan-akan jatuh ke kakinya. Manila keluar sekolah, sendirian, saat anak-anak Aguante menunggu kedatangan para anggota Fuerza. 

Sedangkan di sisi lain, Manila sedang duduk di sebuah lapangan luas. Sepertinya ini lapangan basket atau voli yang sudah tidak dipakai. Kedua tangan Manila diikat ke belakang kursinya, ada dua lelaki yang setia menjaganya di sisi kanan dan kiri. Manila merasa takut, mengapa hari ini sial banget bagi dirinya? Ah, coba saja kalau ia ingat untuk mengerjakan kerjaan yang dikasih Pak Saeful! 

"Minum, La," Fatih mengasih sebuah botol air mineral ke Manila. 

Manila memutar kedua bola matanya. "Gimana gue mau ambil airnya, kutu kupret?"

Fatih terkekeh kecil. Baginya, sifat Manila yang jual mahal ini sangat menggemaskan dan menarik. Jarang sekali ada wanita yang menolak jika Fatih menawarkan apapun, bahkan diperbudak aja mau, tetapi Manila beda. Membuat Fatih penasaran dengannya. 

Fatih mengambil sebuah kursi, ia memutar kursinya. Posisi kakinya terbuka, tangannya ia letakkan di tempat kepala kursi hitam itu. "Gavin dirumah gimana, La?" 

"Bukan urusan lo!" 

"Santai aja dong,"

"Lepasin gue, Fat!" Pinta Manila. Ia menggesek kedua tangannya agar tali bisa lepas namun, hasilnya nihil.

Fatih tersenyum miring ke Manila. Baru saja ia ingin berbicara namun ada suara deruman motor terdengar. 

Manila melihat keliling, melihat para lelaki geng Aguante berdiri menutupi Manila didepannya. "Eh, eh, woy! Ngapain nutupin gue segala?!" 

Fatih terkekeh ngelihat tingkah laku Manila yang bingung dengan keadaan, betapa polosnya ia. "Ada yang cariin lo tuh," bisiknya. 

"WOYY!" Sahutan suara yang Manila sangat kenal terdengar, mengelilingi lapangan kosong. 

Ingin sekali Manila menyaut, memberi tau bahwa ia ada disini, tetapi ada sebuah tangan yang menempelkan lakban hitam kemulutnya dengan kilat.

"Akhirnya, dateng juga lo pada," Fatih menghampiri gerombolan lelaki yang terlihat sedang arah. 

Manila mengintip dikit, melihat motor yang ditaruh secara acak-acakan. Namun, satu motor menangkap matanya. Motor ninja warna merah milik Leo! Oh Tuhan, akhirnya! 

Gavin dan Mason berdiri dipaling depan, dengan gagah mereka memimpin 80an orang dibelakangnya. Keduanya sama sekali tidak takut dengan apapun rintangan yang akan diberi musuhnya. 

"Gausah basa basi, ngapain lo ngajak ribut? Hah? Belom kapok kita abisin lo semua?!" Suara Gavin semakin lama, semakin naik. Hanya dengan mendengar nada bicaranya Manila tau bahwa Gavin sedang menahan amarah. 

"Ngomong-ngomong, Manila ilang ya?" 

Mendengar pertanyaan itu, rahan Gavin mengeras. Laki-laki itu maju, menarik kerah baju Fatih dan menatap matanya. Senyuman licik di muka Fatih membuat Gavin ingin menonjoknya habis-habisan. 

Fatih memberi arahan kepada lelaki lain untuk menggeser, memperlihatkan Manila dengan keadaan rambut acak-acakan, mulut dilakban dan kedua tangannya di ikat dibelakang kursi. 

Anggota Fuerza yang melihat itu membulatkan matanya. Apalagi Fuerza inti, yang mengenal Manila begitu dalam.

Leo menghampiri Fatih. "BANCI LO!" 

Fatih mendorong tubuh Gavin dan Leo. "Santai dong, tenang,"

Tak sabar, Mason ikut maju. "Lepasin dia sekarang! Dia gaada hubungannya sama perkelahian kita!" 

"Tapi enak dijadiin mainan," 

BRUK

Gavin maju dan memuluk wajah Fatih dengan kepalan tangannya. Fatih terhuyung kebelakang, belum siap dengan tonjokan gratis yang diberi Gavin. Fatih tidak terdiam, ia menarik kerah baju Galaksi dan memberi bogem di mata kanan. Satu per satu, geng musuhan berbuyutan ini sedang adu jotos. 

Manila ingin teriak melihat orang-orang yang ia sayang berkelahi, namun apa dayanya? Lakban hitam membuat tidak bisa menggerak mulutnya. 

Sosok lelaki cepat-cepat melepas lakban hitam dari mulut Manila dan melepaskan ikatan dari tangannya. 

"LEO!" Manila loncat dari kursinya dan memeluk Leo dengan keras, tetapi hati-hati. Mukanya sudah biru-biru, tangannya berdarah. 

"Ila, ayo kita keluar dari sini," Leo menarik tangan Manila keluar dari lapangan mengerikan itu. 

***

"Sakit!" Teriak Abhi. "Ouch, sakit! Pelan-pelan napa?!" 

"Ini udah pelan-pelan daritadi ogeb! Lo aja sensi!" Sekarang, Manila sedang mengobati Abhi, yang luka-lukanya paling parah. Biasa lah, Abhi adalah cowok yang suka berantem secara kata-kata, bukan adu jotos. 

Dari semua anggota Fuerza, hanya tim Fuerza inti yang sekarang ada di rumah Mason, ditambah Manila yang sedang mengobati mereka. 

"Ila, kamu gapapa kan?" Tanya Gavin. Ia menghampiri Manila yang sedang membersihkan luka di pinggir bibir Abhi.

"Gapapa Bang," Manila menoleh ke Gavin. "Abang duduk aja, kaki Abang berdarah gitu!" 

"La, kayaknya harus lo cium dulu deh baru sembuh," ujar Abhi. Manila membesarkan matanya, siap untuk memukul Abhi.

"Kurang ajar lo!" Balas Gavin. 

"Ehhh, maap-maap!" Abhi memeluk Manila dari belakang, sebagai batas antara Abhi dan Gavin. 

Leo yang ada di belakang Abhi menjitaknya. "Dasar," sahut Leo. "Lepas ga?!"

"Serba salah gue mah," decak Abhi.

"Lo nafas juga salah Bhi," sindir Varro. Seluruh ruangan menahan ketawanya melihat muka asam Abhi. 

"Iya deh, iya. Apa aja buat lo Pap," 

"La, kok tadi lo bisa sama mereka?" Leo menarik lengan Manila agar Manila terduduk disebelahnya. 

"Gue mau fotokopi, tiba-tiba ada Fatih," 

Leo merangkul Manila. "Bagus lo ga kenapa-napa,"

MANILAWhere stories live. Discover now