6

12 1 0
                                    

"Ila,"

"Manila," 

"Manila,"

"Manila!"

"MANILA ALTEZZA!" teriak seseorang. 

"Siapa sih berisik banget" batin Manila. Ia membuka matanya malas untuk melihat Leo yang memamerkan sederet gigi putihnya. 

"Napa," gumam Manila yang menutup matanya kembali. 

"Kaki lo melukin perut gue," ucap Leo. Setelah lima menit menunggu jawab Manila, Leo pasrah. 

"Beneran kebo lo La," decak Leo kesal. 

Posisi Manila dan Leo sekarang sungguh aneh. Jika Manila melakukan ini ke cowok lain yang tidak bisa tahan diri, sudah habis Manila. Kaki Manila melingkari perut Leo, kepalanya terkubur di leher Leo. Untung Leo bisa tahan diri dan tidak mau merusak Manila. 

Suara pintu tertutup dan obrolan para lelaki mulai terdengar. Leo bingung harus apa, Ia takut dikira apa-apa dengan teman-temannya. 

"Astajim!" Seru Edgar. 

Semua menoleh kearah sofa, dimana Manila dan Leo sedang berbaring. 

"Dia gamau lepasin gue Gav," kata Leo kepada Gavin. Gavin berjalan kearah keduanya lalu menggendong Manila, membawanya ke kamar. 

"Mampuy bakal kena marah lo!" Kata Abhi. 

"Bisa gak sih ngomongnya gausah teriak-teriak?" Tanya Mason dengan nada sarkastik. "Hangover gue,"

"Siapa suruh minum segalon?" Balas Varro. 

"Aduh Abang Papo biasanya diem aja, sekalinya ngomong pedes kayak Samyang!" Seru Arvel. Varro memandang Arvel dengan pandangan tajam. Serem. 

Arvel mengumpat dibelakang Chris, "maap."

"Liat tuh si Leo, parno sendiri." Bisik Malvin kepada teman-temannya yang menatap Leo yang sedang bengong. 

"Jangan-jangan dia khilaf," kata Abhi asal. Abhi mendapat beberapa jitakan dari kedelapan temannya. 

"Ya kagak lah bego! Udah tau Leo yang ngejagain Manila kayak apaan aja," sahut Edgar. 

"Gue juga bisa," decak Malvin. Yang lain pada ngelirik satu sama lain. 

"Cielah ada yang cemburuuu," ucap Gavin yang tiba-tiba ada dibelakang Mason. 

"MasyaAllah!"  Teriak Mason sambil meloncat dari tempat duduknya di bar, kaget karena Gavin yang secara tiba-tiba muncul. "Setan! Muncul dari mana lo!" 

"Daritadi gue dibelakang lo geblek," cibir Gavin. 

"Aduh kepala gue makin sakin gara-gara lo tuyul." Balas Mason. 

"Mas, ini makannya." Sahut pembantu rumah Gavin, Sela. Ia menaruh nasi goreng dalam sepuluh piring yang berbeda. 

"Makasih Mba," 

Suara pintu kamar dibanting dan suara langkah kaki mengelilingi rumah yang besar.

"Berisik." Decak Manila yang mengerutkan wajahnya. 

"Maaf Ila," kata Mason pelan. 

Tidak ada jawaban dari Manila. 

"Ila," panggil Gavin.

"Apa." 

"Ke mall yuk nanti siang?" Pinta Gavin.

"Males." Balas Manila. Ia benar-benar bete karena kebangun oleh suara yang buatnya ingin lakban mulut teman-temannya.

MANILADonde viven las historias. Descúbrelo ahora