Seventeen

827 31 0
                                    

"Jadi menurutmu, desain ini cocok untukku?" Jessica melayangkan tatapan tak percaya pada James. Pemuda kurus itu mengangguk sebagai jawaban. Mulutnya dipenuhi dengan ramen instan hasil perjuangan Jessica berkutat di dapur.

Kertas bergambar desain James kembali teronggok di meja dapur. Jessica melanjutkan acara makannya yang sempat tertunda. Hari ini sepulang kuliah, James tampak seperti gelandangan yang tak makan selama berhari-hari. Kulit sekitar mata menghitam, pipi yang semakin kurus, dan bau. Ia baru pulang hari ini setelah satu dan setengah hari menetap di kampus. Masih dalam rangka peragaan busana yang dijadwalkan digelar musim gugur tahun ini.

Melihat kondisi James yang mengenaskan, Jessica berinisiatif memasak untuk pemuda itu. Kendati hanya merebus mi kering lalu dimasukkan bumbu-bumbu instan dan beberapa potong ham panggang di atasnya. Jessica yang notabebe jarang memasak pun membutuhkan waktu agak lama demi dua mangkuk makanan instan yang tidak sehat.

"Aku memikirkan desain itu selama berminggu-minggu. Membuat desain pakaian tidak semudah membuat ramen instan," protes James saat melihat lawan bicaranya tidak antusias.

"Hei, membuat ramen instan itu juga sulit!" protes balik Jessica. "Aku bukannya tidak menyukai desainnya, hanya saja sepertinya desain buatanmu tidak cocok untukku."

"Lalu menurutmu, desain apa yang sesuai?" 

"Tentu saja yang menampilkan banyak kulit dan lekuk tubuh. Aku terlahir sebagai wanita seksi yang akan membuat pria mana pun bertekuk lutut." Jessica berpose, menonjolkan lekuk tubuhnya. Alih-alih kelihatan seksi, Jessica justru terlihat konyol.

"Aku pria dan tidak takluk dengan pesonamu," sanggah James diiringi kekehan.

"Kau itu bukannya pria. Kau masih pemuda kurus polos. Perjaka payah," ejek Jessica.

"Hei, jangan ejek keputusanku jadi orang yang lurus!" protes James. Ia bangkit dari kursinya, mendekati kursi Jessica lantas menggendong Jessica bak pengantin. "Aku juga pria yang perkasa!"

"Lebih pantas disebut kuli panggul," balas Jessica.

James hendak membalas, akan tetapi ia tak cukup kuat mempertahankan posisinya dengan Jessica. Tak butuh waktu lama sampai keduanya jatuh di lantai. Tawa mereka memenuhi ruang makan yang sempit itu. Hari itu, semua masalah dan beban yang menghimpit terasa terangkat.

Jessica mendapati Amy menangis di salah satu bangku. Ibu beranak dua itu membenamkan wajahnya pada telapak tangan. Perlahan Jessica merengkuh tubuh temannya tersebut dalam pelukan hangat. "Dia akan baik-baik saja, Amy. Kau sudah berusaha yang terbaik," bisik Jessica lembut.

"Terima kasih, Jess," lirih Amy dengan suara yang bergetar.

"Apa kata Dokter?" suara Jessica nyaris tercekat. Ia menahan diri agar tidak menumpahkan air mata di hadapan Amy.

"Ia harus mendapat donor dalam waktu seminggu ke depan. Jika tidak, maka kami harus mengikhlaskannya, Jess," lirih Amy.

Jessica memang belum pernah merasakan sakitnya melahirkan dan susahnya membesarkan anak. Namun, ia paham bagaimana sakitnya mengalami kehilangan. "Aku selalu berharap yang terbaik untuk kau dan Jose."

"Terima kasih, Jessica. Kau sudah banyak membantu dengan mempekerjakanku lagi, memberikan koleksi tas mahalmu untuk kujual, dan banyak lagi. Kalau pun kami harus mengikhlaskan Jose, setidaknya kami sudah melakukan semaksimal mungkin." Amy bergetar dalam pelukan Jessica.

Tak lama setelah Amy terdiam, derap langkah kaki terdengar mendekat. Jessica dan Amy menoleh ke arah sumber suara. Mendapati mantan suami Amy berdiri di hadapan mereka dengan napas memburu. "Apa yang terjadi pada Jose?"

Prisoned in Marriage [END | PROSES TERBIT]Where stories live. Discover now