Nine

1.2K 39 10
                                    

Tanpa keraguan, Jessica akan menyebut bahwa ini adalah kali pertama suaminya. He was virgin. Gelar perjaka tak bisa disandang oleh James setelah malam pertama mereka terlewati. Jessica sudah bermain dengan ratusan, bahkan ribuan pria. Ia tahu betul mana yang sudah tidak perjaka dan mana yang masih perjaka. Banyak yang mengaku sudah tidak perjaka, akan tetapi suaminya adalah pengecualian kecil. Perjaka yang bertingkah seolah tidak perjaka lagi.

Jessica ingin tertawa, akan tetapi ia takut mengusik tidur suaminya. Aneh sekali menyebut James dengan suami. Pria yang kini memunggungi Jessica tersebut masih dibuai alam mimpi. Terlihat dari napasnya yang stabil dan dengkuran kecil yang tidak seperti pria kebanyakan. Dengkuran laki-laki biasanya keras seperti gergaji mesin. Namun dengkuran James terdengar kecil dan lembut. Maka dari itu Jessica sering kali mengejek James dengan sebutan perempuan saat masih tinggal bersama di New York dulu.

"Ya Tuhan! James, kau yang mencuci semua pakaianku? Sudah kubilang untuk membawanya ke laundry saja. Kita hanya tinggal membayar. Aku berbagi kamar denganmu bukan untuk menjadikanmu pembantu," omel Jessica saat tiba di flat. Ia mendapati James tengah menjemur pakaian di balkon. Semua itu pakaian normal Jessica, bukan lingerie atau kostum aneh yang sering ia kenakan saat melayani pacarnya atau pria-pria khusus.

"Jess, aku sudah tinggal di sini tiga bulan. Aku sudah tak punya rasa segan lagi padamu. Lagi pula aku tidak menyentuh pakaian-pakaian spesialmu. Itu menjijikkan," imbuh James masih sibuk dengan kegiatan menjemur pakaian.

"Ah, James. Aku harus membalasmu dengan apa kalau begini?" Jessica lantas menubruk tubuh James, memberikan pemuda kurus itu pelukan erat.

Jessica memeluk sebagai bentuk ucapan terima kasih. Namun, James justru menegang di tempat. Ia salah menangkap perbuatan Jessica tersebut.

"Jess, tolong jangan lakukan sesuatu yang mengancam keperjakaanku."

Sejurus kemudian, Jessica melepas pelukannya dan lantas tertawa keras-keras. "Sialan sekali kau James. Sudah kubilang kau itu bukan tipeku. Kau masih terlihat seperti seorang gay di mataku. Tentu saja aku tak akan melakukan hal seperti itu. Aku masih punya standar yang tinggi. Bilang saja apa maumu."

James menatap ragu Jessica. "Bagaimana kalau kau jadi model untuk gaun yang sedang aku kerjakan. Kau tak keberatan bukan?" tawar James.

Mata Jessica membola, ia berjingkrak setelah mendengar penawaran James tersebut. "Aku? Model? Kau serius? Apa aku juga perlu berjalan di catwalk seperti model sungguhan?"

"Ya, tentu saja. Hanya saja tidak dalam kurun waktu dekat. Gaunnya akan dipakai untuk acara musim gugur nanti. Berhubung ini masih musim semi, maka masih banyak perencanaan lain. Aku masih dalam tahap perencanaan desain, lalu barulah mencari bahan yang tepat. Sampai saat itu datang, kupikir kau masih bisa makan banyak sampai lemak perutmu meluber," canda James.

"Hei, lemak perutku menumpuk karena kau selalu memberiku makan banyak dan enak. Aku justru bersyukur punya kakak perempuan sebaik dan sepandai dirimu," balas Jessica sebagai bentuk balas dendam atas lemak perutnya yang meluber.

"Hei! Jessica, kau menyebalkan!" James mengejar Jessica, akan tetapi perempuan itu telah masuk kamar dan menguncinya rapat.

"Jess! Jessie! Jessica! Buka pintunya supaya aku bisa mencubit perut berlemakmu!"

"Jessica."

Jessica berkedip, memori yang berlarian di kepalanya menguap. Digantikan oleh tatapan sayu James yang kini berhadapan dengannya di atas ranjang. Ini masih jam dua dini hari, masih ada banyak waktu sebenarnya. Ada dua opsi, untuk tidur atau menyambung kegiatan ranjang mereka.

Prisoned in Marriage [END | PROSES TERBIT]Where stories live. Discover now