Seven

1.3K 51 7
                                    

Acara pindah rumah James tak membutuhkan waktu lama. Toh, dia hanya membawa sebuah koper dan beberapa kardus buku yang dikirim beberapa hari kemudian. Dalam waktu seminggu pun, kamar kosong yang pernah ditempati ibu Jessica, kini berubah menjadi sebuah ruang kerja. Ada mesin jahit dan beberapa manekin. Buku-buku tentang mode memenuhi rak-rak yang dulunya diisi sarang laba-laba.

Sebagai siswa di The Fashion Institut of Technology sudah wajib hukumnya untuk paham seluk beluk mesin jahit dan dunia mode. James terkadang membuat Jessica kagum. Pemuda kurus itu sangat lihai mendesain dan menjahit pakaian sendiri. Jangan ragukan pula kemampuan memasaknya. James terbiasa memasak sendiri. Ia bahkan bisa memanggang kue. Baiknya lagi, James selalu memasak untuk mereka berdua. Ia bukan orang yang pelit.

"Jess, sebenarnya apa yang membuatmu tak berencana menikah?" tanya James malam itu, sehabis makan malam. Jessica masih mengenakan pakaian pendek sehabis pemotretan majalah dewasa perdananya, mereka berdua menikmati semilir angin malam New York dari balkon gedung flat. Jessica sudah tak menggantung pakaian dalamnya di luar. Berkat James yang sering mengguruinya tentang bahaya pria-pria dengan fetish aneh yang berkeliaran di luar sana.

"Kamu yang hidup dengan prinsip seks setelah menikah mana tahu kehidupanku yang runyam. Aku pernah bilang kalau ibuku kabur dengan pria lain. Itu karena ia sama buruknya denganku. Meniduri banyak pria, sampai tak tahu bahwa dia hamil lalu ditinggalkan pacarnya karena tak mau bertanggung jawab," jelas Jessica sambil menatap gedung-gedung pencakar langit.

"Lalu, anak itu adalah kamu?" tanya James.

"Ya, anak itu adalah aku. Ibuku sempat menikah, tapi perlakuan suami barunya padaku juga bejat. Dia orang pertama yang meniduriku. Asal kau tahu saja, umurku masih sepuluh saat itu. Dia tak pernah memberikan nafkah bagi kami, juga selalu mabuk, lebih parahnya lagi, dia ternyata juga masih jadi suami orang saat itu. Itu yang membuatku tak ada niatan menikah. Berkaca dari pengalaman Ibu, aku tak ingin memiliki kehidupan seperti itu," ujar Jessica sendu.

"Kalau suatu hari kau menemukan pria yang benar-benar baik dan berencana menikahimu, bagaimana?"

Jessica urung menjawab, ia justru terkekeh pelan. "Seandainya saja ada pria yang seperti itu. Aku sudah menanti kedatangnya cukup lama. Tapi, kau lihat sendiri, 'kan? Rata-rata mereka yang bermalam denganku tak pernah kembali. Mereka mencariku hanya ingin mencicipi tubuh ini."

James tak merespons lagi. "Aku memang baru mengenalmu seminggu Jess, tapi aku tahu kau orang baik. Hanya saja kau belum menemukan jalan terbaik itu. Tapi tenang saja, aku akan selalu mendoakanmu." James melepas jaketnya, lantas menyelimuti paha Jessica yang tak tertutup kain. "Selamat malam, Jess."

Jessica sampai detik ini tak akan mengubah pendiriannya tentang pernikahan. Pernikahan bukanlah solusi untuk mengatasi masalah. Termasuk apa yang terjadi pada ibunya. Bahkan sampai sekarang, Jessica masih putus komunikasi dengan sang Ibu.

Mungkin ibunya sudah punya suami tampan dan anak lagi. Sebagai wanita yang sering berpindah hati, Ibu Jessica tak pernah bertahan dengan satu pria untuk jangka waktu yang lama. Jikalau di pernikahan Jessica nanti ia harus mengundang ibunya, maka kemungkinan besar adalah tidak. Sampai sekarang ia tak pernah tahu di mana keberadaan wanita itu.

"Keberatan jika aku bicara sebentar denganmu?" Suara James menarik atensi Jessica. Pria itu bersandar pada kusen pintu. Mengenakan kaus santai dan celana selutut. Menyilangkan kedua tangan di depan dada.

"Terserah," sahut Jessica dingin.

"Kau masih marah." James beranjak dari pintu, lantas mendekati Jessica yang duduk di tepian ranjang. Wajah Jessica sejak tadi berkerut.

Prisoned in Marriage [END | PROSES TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang