Two

2.3K 55 37
                                    

Jessica melemparkan tubuhnya ke ranjang. Sepatu hak tingginya masih menempel di kaki. Tak ada niatan untuk melepasnya, bahkan mungkin akan ia bawa tidur. Kemalasan adalah penyakit yang tak mudah disembuhkan. Bahkan setelah tiga puluh tahun hidup.

"Menikahlah denganku, lalu kau akan tahu."

"Tunggu, menikah? Kau gila James! Kenapa kau menikahi orang yang sudah membuat saham perusahaanmu jatuh? Yang ada aku akan membuat perusahaanmu makin terpuruk nantinya!" cecar Jessica.

Pria itu mengulas seringai tipis. "Memang itu maksudku, membuat perusahaan itu terpuruk, menghancurkannya secara perlahan, membuat ayahku tahu apa yang disebut dengan balas dendam."

Jessica bergeming, tetapi otaknya ia paksa menyusun skenario yang mungkin saja terjadi. Bayangan sepuluh tahun lalu berkelebat. Membuat Jessica mulai menghubungkannya dengan kemungkinan yang muncul.

"Apa ada hubungannya dengan sepuluh tahun yang lalu, saat kau tiba-tiba pergi tanpa pamit? Menghilang bersama semua benda yang kau punya? Jangan bilang ada hubungannya dengan bunuh diri mendiang ibumu."

Raut wajah pria itu mengeras. Jessica merasa bahwa ucapannya terlalu lancang untuk pertemuan pertama mereka setelah satu dasa warsa. Mungkin jika James masih sama seperti dulu, pria itu tak begitu keberatan. Ia pasti akan tersenyum renyah dan mengedikkan bahu sebagai respons. Namun, James di hadapannya adalah pribadi yang berbeda. Sepuluh tahun adalah waktu yang cukup lama untuk merubah James luar dan dalam.

James berdeham, lantas melumasi tenggorokannya dengan segelas air. "Ya, rupanya otakmu tak terlalu tumpul. Walau sebagian besar yang kaupakai selama ini hanya tubuhmu."

Jessica menahan diri agar tidak balas mengumpat. Pria yang berhadapan dengannya ini orang kaya dan Jessica adalah calon gelandangan. Akhir bulan tinggal menghitung hari dan ia sama sekali tak punya uang sekarang. Selain karena kartu kreditnya hampir mencapai limit, akun bank miliknya juga telah dibekukan. Satu-satunya uang yang ia punya berjumlah sepuluh dolar. Mungkin ia masih punya beberapa lembar dolar atau koin yang tercecer di balik sofa. Ingatkan dia untuk melakukan pencarian harta karun malam ini.

"Ya, setidaknya sekadar tahu." Jessica memilin serbet di pangkuan gelisah. Menanti apa yang hendak dikatakan teman lama.

"Kau tak tahu lebih jauh. Kau bahkan tidak tahu ayahku punya banyak istri, 'kan? Aku akan memberitahumu secara detail jika kau benar-benar mau ikut serta dalam rencana penghancuran ini. Tetapi aku tahu kau pasti butuh waktu. Telepon aku seminggu lagi. Aku tahu kalau kau akan menggelandang akhir bulan ini. Jadi kau pasti tahu apa yang terbaik untukmu. Telepon aku jika saat itu tiba," pungkas James sambil meninggalkan selembar kertas di meja. Pria tersebut beranjak pergi tanpa repot-repot menoleh.

Itu bukan nomor yang tertera di kartu nama James. Ditulis menggunakan tangannya sendiri, Jessica terkejut bahwa tulisan pria tersebut masih sama. Bahkan setelah semuanya berubah dalam sepuluh tahun.

"James, kenapa kau membuatku berada dalam masalah lagi?" Jessica mengusap wajahnya kasar. Bukan sekali dua kali James membawanya dalam masalah. Pertemuan pertama mereka tiga belas tahun yang lalu saja membawa masalah bagi Jessica.

Jessica baru saja menutup kunci flatnya saat mendapati pemuda kurus itu duduk berjongkok tak jauh dari pintunya. Ia menatap Jessica bak anak anjing yang minta dilimpahi cinta majikannya.

"Hei, siapa kau? Sedang apa di depan flat milikku?!" maki Jessica waspada.

"Tolong izinkan aku tinggal bersamamu. Aku putus asa sekarang, tak ada tempat untuk aku tempati sekarang. Tidak dengan uang yang aku punya," pinta pemuda kurus tersebut sambil berlutut di hadapan Jessica.

Prisoned in Marriage [END | PROSES TERBIT]Where stories live. Discover now