Kia menelan ludahnya. "Nggak apa-apa, aku mengerti."

"So, is this goodbye?"

"Not forever," sahut Kia. "Aku akan menunggu saat-saat di mana kamu mau menerima aku sebagai temanmu, juga Mas Bram nantinya. Aku tahu kamu bukan orang jahat, Rei."

"Kamu terlalu percaya diri."

"Kamu terlalu pesimis," Kia menepis. "Kamu pikir berapa lama aku kenal kamu?"

"Dan kebersamaan kita selama ini nggak bisa membuat kamu mempertimbangkan aku sebagai calon suami kamu? Hanya karena aku perwira?"

Kia terdiam. Sebenarnya alasan utamanya bukan itu. Seperti yang sudah Rei bilang kepadanya, kalau Kia menjadi istrinya, dia hanya perlu tinggal di rumah. Bagi Kia yang tidak bisa diam saja di rumah, tentu saja itu memberatkannya. Rei juga keberatan untuk mengizinkannya bekerja meskipun hanya dari rumah. Tapi dia tidak akan mengatakannya di saat suasana hati Rei sedang buruk seperti ini.

"Maaf," lirih Kia. Hanya satu kata itu yang mampu dia katakan.

Tanpa aba-aba, Rei memutuskan sambungan teleponnya. Tapi Kia mengerti bahwa Rei butuh waktu. Dia pun kembali ke kubikelnya untuk berkutat dengan artikel dan menghabiskan makan siangnya yang masih sisa setengah. Meskipun sudah tidak nafsu makan, dia harus tetap sehat.


*


Jogja, September 2018, sore hari


Sepanjang siang tadi, Bram berusaha menghubungi Kia. Dia menyesuaikan dengan jam makan siang di kantor Kia untuk mengabarkan bahwa dirinya sedang berada di rumah gadis itu. Sayangnya semua teleponnya tidak tersambung, nadanya selalu menandakan bahwa sambungannya sibuk. Bram bertanya-tanya dengan siapa Kia sedang teleponan, karena bahkan bunda Kia pun justru sedang memasak di dapur. Ditambah lagi, itu adalah ponsel pribadi Kia dan bukan ponsel untuk pekerjaannya.

Bram mencoba berpikir positif. Siapa tahu itu Dirga atau mungkin Fay. Bisa juga teman-temannya yang lain, mengingat Kia memiliki banyak teman. Bram ingat beberapa di antaranya meskipun samar, terutama yang dia temui di Gili Trawangan dulu.

PIkiran-pikiran itu pun terganggu setelah bunda Kia memanggilnya untuk makan siang bersama. Baiklah, dia bisa menelepon Kia kapan saja.

Maka, sore itu Bram kembali mencoba menelepon Kia. Seharusnya di jam ini Kia sudah selesai bekerja, atau setidaknya sedang bersiap-siap pulang. Dirinya sendiri masih di rumah Kia karena dari tadi Bunda menahannya untuk pulang. Di situ, dia malah diperlihatkan foto-foto masa kecil kekasihnya. Mereka banyak membicarakan Kia semasa kecil hingga cerita mengenai Rei. Bahkan ada foto Kia kecil sedang saling merangkul dengan Rei kecil. Meskipun ada perasaan sebal ketika mendengar nama Rei, Bram juga tetap ingin tahu bagaimana perwira tersebut bisa menjadi sahabat Kia—bahkan berniat menikahinya.

"Rei itu kan anak dari rekan almarhum ayah Kia. Karena dulu kami sama-sama tinggal di rumah dinas dan tetanggaan, tentu saja Rei dan Kia jadi dekat. Sekolah pun selalu barengan. Mungkin dari situ mereka jadi saling suka. Kayak peribahasa Jawa, witing tresna jalaran saka kulina."

Masuk akal, pikir Bram. "Tapi, kenapa Kia menolak lamaran Rei padahal dia sendiri masih suka?" tanyanya penasaran. Dia sudah tahu alasannya, tetapi jika mendengar dari sumber lain mungkin dia akan lebih percaya.

Bunda tersenyum. "Karena Rei memilih untuk menjadi tentara. Kia sudah kehilangan ayahnya karena gugur dalam tugas, kemudian mungkin saat itu Kia sering melihat bundanya kesusahan sepeninggal ayahnya. Dari situ, dia mungkin berpikir jika dia tidak akan bisa memiliki suami seorang tentara.

"Dulu, Bunda benar-benar hanya ibu rumah tangga. Ketika ayah Kia wafat, Bunda hampir tidak ada pegangan. Untung saja sebelum meninggal, ayah Kia sudah membangun rumah ini sehingga kami tidak perlu pusing mikirin mau pindah ke mana. Tapi waktu itu, Bunda bingung bagaimana caranya menopang kehidupan tiga anak Bunda karena Bunda benar-benar tidak punya pekerjaan. Ya sudah, Bunda coba bisnis kecil-kecilan. Yang penting bisa untuk makan sehari-hari saja."

Bram manggut-manggut pelan. Dia membayangkan betapa beratnya saat-saat itu.

"Imbasnya, ya... Dirga jadi nggak mau jadi tentara dan Kia nggak mau punya suami tentara. Fay sih santai."

Ya, karena Fay sekarang bersuamikan seorang tentara AU. Bram terkekeh pelan.

"Masalahnya, Rei tetap pada cita-citanya untuk menjadi tentara. Apalagi Kia sempat cerita bahwa Rei mau Kia nggak bekerja. Bunda paham maksud Rei, karena Bunda sendiri istri tentara. Dia mungkin pengin agar ketika pulang dari bertugas dia bisa tercerahkan kembali melihat istrinya, tapi Kia mana mau begitu. Jadi, dia belajar untuk menyetop perasaannya kepada Rei... sampai akhirnya dia ketemu kamu."

"Kia benar-benar menyenangi pekerjaannya sekarang ini," Bram menyetujui. "Saya nggak pernah masalah dengan itu, karena yang penting dia senang."

"Nah, itu dia. Dengan kamu, dia tidak perlu merasa khawatir soal bekerja setelah menikah."

Mengingat itu, Bram tersenyum sementara mendengarkan nada sambung teleponnya. Kali ini terhubung.

"Assalamu 'alaikum. Mas Bram?"

"Wa 'alaikum salam. Ki, coba tebak saya di mana sekarang?"

Terdengar gumaman yang panjang. "Di Lombok? Apa malah udah balik ke Semarang?"

"Di rumah kamu," ujar Bram sambil terkikik.

"Hah?" Kia menyambar. "Di rumah saya... di Jogja? Ngapain?"

"Ya ketemu bunda ka—"

"Lho, Bram?"

Bram segera memalingkan wajah ketika mendengar namanya dipanggil. Dia menganga begitu melihat siapa yang baru saja memanggilnya, yang sama-sama melongo melihatnya.


***

TraveloveWhere stories live. Discover now