2017 : 11

1.1K 97 2
                                    

masih hari selasa, tenang aja ^^

seminggu ini aku menerima beberapa komentar dan vote. makasih banyak ya! gabisa sebutin satu-satu, tapi intinya terima kasih banyak. cup muah!

oh ya, alur cerita ini terkesan lambat, tapi sebenarnya berprogres. enjoy the story!

seperti biasa: read, vote, comment, dan... yuk bantuin benerin typo ^^ maap nih mata sering jereng wkwkwk


---


Semarang, November 2017, pagi hari


Alhamdulillah, Mas. Saya diterima bekerja di Wartawara.

Saya memutuskan untuk terus bekerja di sini.

Untuk pembicaraan kita yang tertunda tempo hari, saya belum bisa menjawab apa-apa.

Maaf.


Bram menatap layar ponselnya yang menampilkan pesan dari Kia dengan gundah. Di satu sisi dia menyalahkan diri karena terlalu gegabah, namun di sisi lain dia lega telah melontarkan kalimat itu kepada sang kekasih. Bram tidak menyesal sudah bertandang ke Jakarta hanya untuk melamar Kia, meskipun masih digantungkan. Hal sepenting itu memang sebaiknya dibicarakan langsung, bukan lewat perantara pesan atau telepon, entah sebaik atau seburuk apapun nanti jawaban yang akan diterimanya.

Tapi... apakah dirinya siap jika gadis itu memberikan jawaban yang tidak sesuai dengan keinginannya?

Bram sempat berburuk sangka. Dia pikir ini adalah karma baginya karena telah menggantungkan harapan-harapan para perempuan yang sebelumnya dekat dengannya. Terakhir ada Zakiyya. Zakiyya sampai harus datang ke Semarang hanya untuk mendengarkan ketidaksanggupan Bram dalam melanjutkan hubungan mereka ke jenjang yang lebih tinggi. Mungkin inilah yang dirasakan Zakiyya kala itu.

Kemudian Bram berpikir, Kia hanya belum memberikan jawaban. Tepatnya belum bisa. Dirinya belum ditolak. Masih ada harapan, meskipun perbandingannya 50:50. Ada baiknya dia terus memanjatkan doa agar kesempatan untuk menikahi Kia semakin besar.

Terlalu larut dalam berpikir membuat Bram tidak menyadari ada Doni yang sudah cengar-cengir mengamati wajah kusutnya. Ketika dia mendongak, dia sampai berjengit kaget melihat karyawan pertamanya itu. Doni terbahak.

"Lagi susah, Pak Bos?" tanya Doni, masih menyisakan cengiran jailnya.

Bram berdecak kesal. "Marai jantungen wae!"

"Lah, saya nggak ngapa-ngapain, lho. Saya cuma duduk manis di sini. Pak Bo situ yang tahu-tahu mak jegagik, mencolot kaget," sang karyawan beralasan. "Ada apa, Pak Bos? Perekonomian, keluarga, atau romansa?"

Bram tak segan menjitak dahi Doni. "Bahasamu, le. Kerja sana!"

"Ini jam istirahat saya, Pak Bos. Kan Pak Bos sendiri yang dulu bilang ke saya dan karyawan baru, kalau jamnya istirahat ya dipakai istirahat, bukan kerja."

Sang bos melirik ke jam dinding. Dia menghela nafas. "Yo wis. Sana makan. Biar kalau nanti kerja lagi ada tenaga, nggak klemar-klemer."

Doni tersenyum penuh arti. "Pak Bos juga makan, dong. Biar kuat menghadapi kenyataan dan persoalan hidup."

"Oi!"

"Jadi, kali ini ada apa, Pak Bos?"

Sekali lagi Bram menghela nafas panjang dan meletakkan ponselnya di atas meja. Namun, matanya masih terus terpaku pada benda persegi panjang tipis tersebut.

TraveloveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang