2018 : 12

1K 88 5
                                    

masih hari selasa! yay! walaupun mepet heu

bujug dah hari ini panjang sekali perasaan... //ciyeh yang sok sibuk

untung nggak ketiduran dan masih sempet upload hehehe

kira-kira tadi mbak petugas yg menangani aku di ditjen pajak DIY udah jadi pembacaku belum ya hakhakhak

in case mbaknya baca part ini, welcome to my world of imagination lah ya mbak xD

seperti biasa, read-vote-comment. bantuin benerin typo akan sangat diapresiasi ^^

enjoy!


---


Bandara Ahmad Yani Semarang, Juni 2018, sore hari


Kia dan Johan akan kembali ke Jakarta sore ini dengan pesawat. Awalnya saudara Johan yang sengklek itu, Edwin, menawarkan diri untuk mengantar mereka berdua ke bandara. Namun, Bram bersikeras untuk mengantar Kia. Johan yang memahami situasi pun mengiyakan permintaan Bram, sehingga dia memutuskan untuk melepaskan bawahannya itu kepada sang kekasih, sementara dirinya tetap diantar oleh Edwin.

Hanya saja, yang membuat Kia sedikit terkejut ketika melihat Bapak dan Ibu berdiri mengapit Bram ketika dirinya beranjak keluar dari hostel yang sudah beberapa hari terakhir ini diinapinya. Dia sampai diam berdiri di pintu utama hostel beberapa detik untuk mencerna situasi yang sedang dan akan dihadapinya.

Akhirnya, Kia melangkah pelan menghampiri ketiga orang tersebut dengan senyum lebar. Ibu adalah orang pertama yang menyambutnya dengan tangan terbuka, mengundang gadis itu dalam pelukannya. Setelah puas memeluk Ibu, Kia menyalami Bapak yang kemudian menepuk pelan ubun-ubunnya (di sini Kia pun mulai berpikir, apakah keluarga Bram itu memang hobi sekali menepuk ubun-ubun orang?). Barulah kemudian Bram mengulurkan tangan yang langsung disambut oleh Kia dengan cara yang sama dengan ketika dia menyalami Bapak tadi: cium tangan. Tidak serta merta mencium tangan dengan bibir tentunya, hanya menempelkan tangan mereka di dahinya.

Kia tidak berani menanyakan mengapa kedua orang tua Bram ikut, namun Ibu sepertinya memiliki intuisi yang tajam. Tanpa Kia harus menyuarakan pertanyaannya, Ibu sudah duluan menjelaskan, "Bapak dan Ibu pengin lihat wajah barunya Bandara Ahmad Yani, katanya jauh lebih bagus." Detik itu pula Kia baru tahu bahwa bandara Semarang itu baru selesai diperbaharui. Memang beberapa kali Kia agak lamban dalam menerima kabar atau informasi baru. Segera instingnya sebagai penulis artikel segmen Travel bergerak. Dia mulai menyusun rencana untuk mengambil beberapa foto bandara dan menuliskannya. Kalau diterima Johan ya syukur, kalau tidak ya tak mengapa.

Selama perjalanan menuju bandara tadi, Ibu memberikan beberapa dus bandeng presto dan lumpia. Ah, makanya Ibu minta agar Kia duduk bersamanya di kursi belakang, ternyata agar lebih leluasa memberikan oleh-oleh kepada gadis itu. Kia yang sedikit terharu—tapi menyembunyikan raut ingin menangisnya itu—menerima segala kebaikan hati Ibu tanpa menolaknya. Dia sangat paham jika Ibu ingin memastikan agar dia tidak kekurangan makanan di Jakarta. Untung saja mereka berbeda kota. Kia yakin jika Ibu berada di Jakarta, pasti setiap hari disuruh ikut makan bersama keluarganya. Oh, mungkin tidak hanya itu. Dari gelagatnya, kemungkinan besar Ibu juga ingin meminta Kia agar menginap di rumahnya. Namun, Ibu juga tahu bahwa Kia dan Bram belum mahram sehingga beliau tidak bisa memintanya.

Sesampainya di bandara, Johan belum datang. Bram sendiri sengaja menjemput Kia lebih awal—siang hari setelah zuhur—agar mereka berempat dapat menghabiskan waktu sebentar untuk makan siang. Tidak di bandara tentunya, yang penting searah ke sana. Ibu benar-benar memanfaatkan dengan baik momen tersebut untuk memesankan Kia makanan yang sehat dan bergizi dan tentunya mengobrol lebih banyak dengan gadis itu. Untunglah mereka tidak terlambat sampai bandara. Barulah beberapa menit kemudian setelah kedatangan Kia, Johan terlihat tanpa Edwin di sampingnya.

TraveloveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang