Rei pun diam. Sementara sang perwira tidak bersuara sama sekali, Kia menggunakan kesempatan itu untuk mengambil nafas sebanyak-banyaknya. Nafasnya telah banyak terbuang untuk marah-marah. Setelah Kia mampu bernafas seperti biasa, dia melihat ke sekelilingnya untuk memastikan tidak ada orang selain dirinya.

"Maaf, aku ketelepasan," kata Kia akhirnya.

"Kamu... mau ngomong apa?" gumam Rei. Dari suaranya, perwira tersebut terdengar letih, tapi Kia tahu bahwa keletihannya itu bukan tentang fisik.

Kia memejamkan matanya lima detik, untuk mengumpulkan keberaniannya. Namun bahkan setelah dia membuka matanya pun ternyata keberanian itu tak kunjung datang. Kia menggigit bibirnya.

"Sebenarnya aku pengin ngomong sama kamu, tapi nggak enak kalau harus lewat telepon begini..." gumam Kia. "Kapan kira-kira kamu balik ke Surabaya? Atau mungkin sekalian balik ke Jogja, gitu?"

"Kia," panggil Rei. Nafas berat dihelanya. "Aku pikir nggak akan ada bedanya kamu ngomong sekarang ataupun besok-besok. Kalaupun kamu memaksa ngomong langsung, kamu hanya akan menunda sakit hatiku, kan?"

Rei masih bisa membaca dan mengerti akan dirinya. Ada secuil rasa bersalah mampir di hatinya ketika Rei berkata seperti itu, namun di samping itu dia juga sedikit senang karena Rei belum berubah. Mungkin nanti Kia akan sangat merasa kehilangan akan sifat-sifat Rei itu, tapi dia sendiri juga tahu bahwa jika sungguh-sungguh ingin mendapatkan atau mencapai sesuatu, tentu harus ada yang dikorbankan.

"Aku mungkin belum siap mendengarkan, tapi aku tahu aku nggak akan pernah siap. Aku pikir nggak ada bedanya kamu mau ngomong kapan aja," kata Rei. "Jadi, apa yang mau kamu omongin sama aku, Ki?"

Kia menyandarkan punggungnya di dinding, sementara dirinya duduk di anak tangga. Perasaan bersalah yang menghinggapi hatinya dia singkirkan terlebih dahulu.

"Kamu tahu kan, kalau aku punya pacar?" Kia memulai.

"Yeah, someone named Bram. Lalu?"

"Aku sudah setuju untuk menikah dengan Mas Bram," ucap Kia pelan. "Segera setelah kontrak setahun tanpa menikah yang aku setujui dengan kantor ini berakhir, aku akan mulai mengurus pernikahanku."

Ada jeda yang lumayan lama. Kia sudah memperkirakannya, tapi tetap saja dia merasa canggung dengan keheningan ini. Jika kamu pernah berpikir bahwa menolak cinta seseorang itu perbuatan yang sangat tega dan kejam, sebetulnya tidak juga. Beberapa di antaranya, Kia salah satunya, justru ikut merasa sakit karena telah menyakiti hati orang yang tulus mencintainya. Tapi hatinya telah memilih Bram, jadi ini merupakan proses yang memang harus dia lalui agar bisa bersama sang kekasih nantinya.

"Begitu," ucap Rei, yang hampir terdengar seperti bisikan. "Kamu sudah benar-benar memilih."

Itu bukan pertanyaan, melainkan pernyataan. Namun, Kia mengiyakan untuk mengkonfirmasi sekali lagi.

"Apakah kamu akan marah kalau aku bilang aku nggak akan datang?" tanya Rei.

"Nggak," jawab Kia. "Aku mengerti."

"Orang tuaku mungkin hadir kalau kamu mengundang mereka... tapi aku nggak akan hadir."

"Aku mengerti."

"Kamu mengerti alasanku?"

"Ya. Aku mengerti."

"Aku kedengaran seperti anak kecil, kan?" Rei bertanya disertai dengan kekehan kecil. "Aku belum dewasa dalam menghadapi perpisahan seperti ini. Aku bahkan ragu apakah aku bisa bersikap biasa saja ke kamu nanti setelah kamu sudah... menikah... dengan orang lain. Aku tidak pernah tahu sebelumnya jika aku bisa sebegini sakit hatinya... tapi mohon, maafkan aku karena bersikap seperti ini. Maafkan aku yang belum bisa lapang dada menerima kenyataan."

TraveloveΌπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα