Bagian 53

232 6 1
                                    

"Gini ya Fy. Setau gue, orang tu kalo ditembak jawabannya Cuma ada dua. Iya atau nggak. Nggak ada tu yang namanya ya udah. Kalo maksud lo 'ya udah' adalah semacam kode, demi celana panjang Neptunus jangan. Gue udah cukup pusing dengan berbagai kode yang cewek ciptakan," Rio memang serius, tapi mengapa di mata Ify ekspresi dan perkataan pemuda itu malah nampak menggelikan ya?

"Hahaha oke deh iya. Gue mau balikan sama lo," Ify mengalah.

"Beneran?" Ify mengangguk dengan tersenyum malu. "Akhirnyaaaaaa gue udah nggak jomblo. Kalo Cakka kan jelek jadi ada alasan buat jomblo. Lah gue?"

"Idih. Astaga lo kenapa jadi makhluk kepedean gini deh?" keduanya hanya tertawa.

Memang. Memendam itu jauh lebih mudah daripada mengungkapkan. Tetapi bagaimana kalau memendam hanya dapat mengantarmu pada tahap kau duduk sendiri, mengingat masa-masa yang telah kau lalui, tersenyum dan tertawa. Tanpa menyadari ada air mata yang menetes di dalam hatimu sana, saat kau tahu kini semua tak lagi sama. Memang. Bahagia itu sederhana. Sesederhana untuk jujur dan mengungkapkannya.

***

"Memang. Memendam itu jauh lebih mudah daripada mengungkapkan. Tetapi bagaimana kalau memendam hanya dapat mengantarmu pada tahap kau duduk sendiri, mengingat masa-masa yang telah kau lalui, tersenyum dan tertawa. Tanpa menyadari ada air mata yang menetes di dalam hatimu sana, saat kau tahu kini semua tak lagi sama. Memang. Bahagia itu sederhana. Sesederhana untuk jujur dan mengungkapkannya."

"Kak? Kamu ngapain di situ?" Mama Rio memandang anak lelaki pertamanya bingung. Apa yang sedang dilakukan putranya itu? Sedari tadi ia hanya bengong berdiri di dekat tangga sembari memperhatikan televisi. Tapi tidak fokus di sana. "Kak?!" kali ini Mama menegur dengan volume lebih keras.

"Hah?! Eh! Iya Ma kenapa?" Rio mengerjapkan mata beberapa kali berusaha memulihkan kesadarannya. Ia menatap Mamanya seraya meringis kecil. Merasa bodoh dengan apa yang ia lakukan.

"Kamu ngapain bengong di depan tangga? Mau ikut nonton sama Mama?" Mama menunjuk layar televisi dengan dagunya. Mau tak mau Rio ikut mengalihkan pandangannya ke televisi. 'Jadi yang tadi ngasih wejangan tuh Mario Teguh?' batinnya tat kala sadar apa yang sedang ditayangkan di televisi sekarang. MARIO TEGUH GOLDEN WAYS. 'Sialan kenapa gue ngelamunnya bisa begini banget?' rutuknya dalam hati.

Tapi begitu ia kembali memikirkan kata-kata yang keluar dari mulut Mario Teguh tadi... Rio tersadar. Ada hal yang harus ia lakukan saat ini juga. "Lhoh Kak?!" bahkan teriakan Mamanya yang menuntut penjelasan tak Rio hiraukan. Ia berlari ke kamarnya. Menyambar jaket dan kunci motornya. Ia harus menemui gadis itu!

***

"Padahal nggak malem minggu ya Vin. Tapi mall nya rame banget," Shilla memperhatikan orang-orang lalu lalang di depannya. Salah mereka juga. Pengen ngobrol tenang tetapi memilih pusat perbelanjaan kota sebagai tujuan. Mana mungkin mall sepi?

"Ada artis manggung," Alvin menunjuk sebuah panggung tidak terlalu besar tak jauh dari mereka.

"Ih ada Hivi! Nonton yuk!" Shilla membaca tulisan Hivi di panggung itu. Sekedar informasi saja, band itu masuk jajaran band yang Shilla gemari.

"Enggak ah. Kamu nggak liat tuh? Isinya cewek-cewek semua?" benar juga. Belum muncul bandnya saja remaja-remaja putri sudah memenuhi ruang penonton. "Emmm, kita ke sana," Alvin menarik tangan Shilla menuju lantai dua. Ada ruang sedikit di pembatas. Cukup lah kalau hanya untuk Alvin dan Shilla berdiri. "Sini aja ya? Tetep bisa ngeliat kok," Shilla hanya mengangguk malu. "Kamu kenapa blushing gitu?" Alvin mengernyit memandang kedua pipi Shilla yang mendadak merona.

Satu Wajah Berjuta IngatanWhere stories live. Discover now