Bagian 38

409 9 0
                                    

"Udahlah. Nggak usah alay dengan nganggep ikan jadi anak. Sekali ikan ya tetep ikan," tandas Ify. Jujur Rio agak kecewa mendengar jawaban Ify seperti itu. Tapi dirinya yakin, bukan kalimat itu yang ada di hati kecil Ify.

"Kalo lo nggak bisa ngerawat, lo buang aja di kolam. Gue nggak ada waktu buat ngurusin masa lalu," setelah mengucapkan itu Ify langsung pergi. Meninggalkan Rio yang masih menjulurkan Bepe untuk diserahkan pada Ify.

"Heuh," helaan nafas berat seberat beban perasaannya sekarang. Sekarang ia sangat yakin kalau Ify benar-benar marah padanya. "Di dunia ini nggak ada yang namanya mantan anak Fy. Gue akan rawat ikan ini sampai kapanpun."

***

Rio meneguk habis air mineral yang ia beli tadi. Gini ya rasanya main basket tapi gunain emosi. Badan dua kali lipat lebih lelah. "Ancur banget permainan lo," walau Iel terlalu blak-blakan, tapi memang seperti itu kenyataannya. Mereka duduk bersebelahan di lapangan basket sekolah, setelah bermain satu jam non stop. "Lo marah sama Ray?"

Pertanyaan Iel langsung menyimpang dari topik pertama. Dan itu membuat Rio kesal. Ia hanya berdecak tak mau menjawab. "Gimana sih lo? Udah tau Ray anaknya panikan, lo malah marah sama dia. Kasian Yo," Rio malah sibuk memperhatikan pertandingan one by one antara Cakka dan Alvin.

"VIN! ISTIRAHAT YOK!" Tapi akhirnya ia tidak bisa lagi lari dari topik ciptaan Iel begitu Cakka dan Alvin memilih berhenti bermain, dan bergabung untuk beristirahat.

"Yakin deh dia takut buat negur lo di rumah."

Panas banget kuping gue Yel. Di saat seperti inilah Rio merasa malas dinasehati. Wajar dong gue marah, mulut Ray nggak bisa dijaga.

"Kenapa sih?" Alvin menoel bahu Iel begitu selesai mengelap keringat di wajahnya. Merasa ingin tahu topik apa yang tengah Rio dan Iel bicarakan.

"Ray," langsung ber-oh-ria Alvin begitu mendengar jawaban Iel. Tadi memang Iel, Alvin, dan Cakka mendapat pesan dari Deva agar bisa membantu memperbaiki hubungan Kakak-beradik yang sedang tidak harmonis itu.

"Kata Deva, Ray uring-uringan seharian karena kepikiran sama lo," imbuh Alvin. Kali aja omongan gue mresep ke hatinya.

"Namanya juga anak kecil Yo. Pemikirannya masih sederhana," Cakka tak mau kalah.

Tiga rayuan sepertinya belum mempan. Rio masih tak mau membuka mulutnya. Buat ngucapin satu kata aja. "Serah lo deh. Yang penting gue udah usaha. Kalau kalian berantem juga nggak ada untung ruginya buat gue," Cakka langsung menjitak kepala Iel. Seenaknya aja kalo ngomong. "Lhoh. Bener kan? Buat apa kita susah-susah ngomong, ngasih nasehat, kalo yang mau dibantu malah berlagak tuli plus bisu kayak gini? Buang-buang energi."

Cakka terdiam. Emang keluarga Stevaditya itu kalo udah marah, galaknya kayak singa. "Ya jangan marah sama gue dong," gumam Cakka pelan. Alvin hanya terkekeh saja melihat kelakuan Cakka yang dalam kondisi apapun tetep aja lawak.

"Gue Cuma kesel aja. Apa susahnya sih nggak usah bicara hal-hal yang nggak penting?" baru tahu. Ternyata hati Rio akan luluh kalau sudah dibentak atau diberi sindiran tajam.

"Lo kalo kesel tu ngomong. Kasih tau apa yang salah dari dia. Jangan Cuma ngambek-ngambek nggak jelas kayak gini. Udah tau yang diadepin anak SMP. Anak bocah. Lo salah kalo caranya begini."

"Dia kalo nggak diseriusin, Cuma nganggep sepele omongan gue. Anaknya aja slengekan kayak gitu," kenapa malah menjadi perdebatan seperti ini?

"Dan dia kalo diajarin buat ngambek-ngambek nggak jelas kayak gini, bakal keterusan. Kalau gue mendingan slengekan dibanding ngambekan," sahut Iel. Ngejleb banget.

Satu Wajah Berjuta IngatanWhere stories live. Discover now