“Kenapa sih Papa selalu kayak gini?” tanya Salena.

Papa berbalik. “Kenapa?”

“Kenapa sih Papa selalu bikin aku bertanya-tanya, senang ninggalin aku tanpa penjelasan. Dan ketika aku salah paham, Papa nggak pernah maksa aku buat percaya sama Papa.” Salena merasa dadanya sesak.

Tidak ada tanggapan dari Papa.

“Papa punya hak buat bicara, menjelaskan apa yang ingin Papa jelaskan. Papa juga punya hak untuk maksa aku percaya dengan apa yang Papa bilang, tapi Papa nggak pernah ngelakuin itu.” Salena mengucapkannya dengan suara tertahan. “Papa lebih senang pergi, dan ninggalin aku dengan segala asumsi yang aku punya.”

Papa mengangguk. “Oke, kalau gitu kita bicara.”

“Papa nggak pernah berubah. Dari dulu nggak pernah berubah. Papa lebih senang menghindar daripada menghadapi aku.”

“Saat itu kamu masih kecil,” gumam Papa.

“Kalau itu alasannya, harusnya Papa bisa membela diri di depan Mama. Nggak menyerah gitu aja ketika Mama minta bercerai.” Salena mengusap sudut matanya. “Pa, asal Papa tahu, saat Papa ninggalin kami—”

“Mama yang minta Papa pergi.”

Apa pun alasannya! “Saat itu Mama hancur,” gumam Salena. “Mama masih berharap Papa kembali, tapi Papa memilih ngikutin keinginan Mama. Papa pergi, tanpa pernah membela diri.”

“Karena Papa memang salah saat itu. Sangat salah, Le.”

“Aku tahu Papa salah. Tapi kenapa Papa nggak coba minta kesempatan?”

“Kamu nggak ngerti. Kesalahan Papa sangat fatal.”

“Tapi Mama masih butuh Papa. Begitu juga aku, Kak Kessa, Kak Odile.” Salena mengusap air matanya yang sudah berderai. “Selama ini Papa membiayai semua kebutuhan aku, Papa kirim kado setiap hari ulang tahun aku, Papa mengucapkan selamat setiap kenaikan kelas, tapi Papa nggak pernah memaksa aku untuk mau nemuin Papa.”

“Karena kamu selalu menolak, kan?”

“Tapi Papa punya hak untuk memaksa, kan?” Salena berjalan menuju anak tangga, melewati Papa. “Papa selalu mengalah. Membiarkan aku membenci Papa selama sepuluh tahun ini. Padahal, mungkin … aku nggak akan keberatan memaafkan Papa.” Salena menaiki anak tangga sembari menyusut air matanya berkali-kali, meninggalkan Papa yang masih berdiri di ruang tengah.

***

Salena masih duduk di meja belajar, mengunci diri di kamar. Dia menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, lalu kembali menatap syal hitam di tangannya yang tidak sempat diberikan pada Papa.

Pukul delapan malam tadi, Papa mengetuk pintu kamarnya, memberitahu bahwa beliau akan segera berangkat. Namun, sampai mobil Papa ke luar dari carport dan pergi, Salena tidak kunjung keluar kamar, dia masih duduk, memainkan syal hitam yang tadinya akan diberikan pada Papa sebelum berangkat.

Salena sudah mengungkapkan semua perasaannya, tapi semuanya tidak berakhir dengan baik. Papa meninggalkan Salena dengan perasaan buruk, dan mungkin Papa juga pergi dengan perasaan yang sama.

Salena berdiri, menaruh syal di atas meja belajar. Dia melangkah menghampiri rantai lampu tidur pemberian Arghi. Tangannya menekan saklar di ujung lampu, berniat menyalakannya, tapi lampu itu tidak kunjung menyala. Salena mencobanya lagi, mematikan dan menyalakannya berkali-kali, tapi lampu itu tidak kunjung menyala.

“Habis baterai?” gumam Salena. “Tapi kan baru.”

Dia mendengkus, lalu kembali ke meja belajar untuk meraih ponselnya. Mengirimkan pesan untuk Arghi.

ONCE (Titik Teduh) [Sudah Terbit]Where stories live. Discover now