Titik Teduh #14

9.6K 1.5K 320
                                    

Arghi Antasena: Mengingat apa yang pernah dilakukan, mengingat kebaikannya, mungkin bisa memudahkan kita untuk memaafkan.

Sepulang sekolah, Salena disambut dengan wangi masakan. Salena pikir Mbak Sari pelakunya, ternyata Papa. Papa dengan celemeknya sedang berdiri di balik konter dapur, sedang memindahkan masakan dari wajan ke dalam mangkuk.

"Papa nggak kerja?" tanya Salena.

Papa menatap Salena, wajahnya takjub. "Waktunya selalu pas. Mungkin ini memang waktunya untuk kita makan siang bareng." Papa menghampiri Salena dan membawa mangkuk berisi hasil karyanya. "Aaaa!" Papa mengarahkan sendok ke mulut Salena.

Salena mengambil sendok tersebut dari tangan Papa. Sejenak melihat makanan di mangkuk, berisi: potongan brokoli, wortel, sawi, dan ayam. Dia menyuapkan sendiri ke mulut.

"Gimana?" tanya Papa, wajahnya berubah was-was.

Salena mengunyahnya sejenak, lalu mengangguk. "Bisa aku terima."

Papa tersenyum cerah. "Mari makan!" serunya seraya membalikan piring yang menangkup di atas meja makan.

Salena menatap Papa. Yang dilihatnya pertama kali adalah matanya, yang entah bagaimana setiap kali tersenyum, mata itu juga ikut tersenyum. Wajah Papa, yang selalu bersemangat dan seperti tidak pernah mendapat kekecewaan. Lalu, rambut hitam Papa, yang ternyata sudah diselingi oleh warna putih, itu baru bagi Salena.

"Segini cukup?" tanya Papa seraya menaruh nasi di piring Salena.

Salena mengangguk.

"Papa berjanji sama mama kamu, untuk jaga kamu. Dan mulai sekarang Papa mulai belajar masak. Menjaga nggak cuma tentang nggak boleh pulang malam, tapi memastikan kamu makan dengan baik juga." Papa menyendokkan makanan ke mulutnya, wajahnya mengernyit. "Ini kurang garam. Iya, nggak?"

Salena tersenyum singkat. Rasanya hambar, tapi Salena mencoba menghargai usaha Papa. Sebuah kemajuan yang signifikan, kan? "Kenapa setiap pagi aku nggak pernah lagi lihat Papa minum kopi?" tanya Salena. Sejak tinggal dengan Papa, dia tidak lagi menemukan wangi seduhan kopi setiap pagi seperti dulu.

Papa menatap Salena dengan sedikit terkejut, mungkin tidak menyangka arah pembicaraan mereka serandom itu. "Papa sudah nggak boleh merokok dan minum kopi lagi sejak ... sakit dulu."

"Sakit apa?"

"Asam lambung." Tangan Papa meraih tisu, mengelap sudut-sudut mulutnya. "Yah, sakit biasa karena terlalu capek dan nggak teratur makan sebenarnya. Jadi, dokter menyalahkan pola hidup Papa yang katanya terlalu banyak ini dan itu, kurang ini dan itu, tidak boleh ini dan itu."

Salena tertegun, membayangkan Papa sakit dan sendirian. "Siapa yang menyiapkan semua kebutuhan Papa waktu Papa sakit?"

"Papa sendiri. Papa masih bisa bawa tiang infus sendiri ke kamar mandi." Papa tersenyum. "Kita pesan makanan saja? Papa nggak tega kamu harus makan—" Ucapan Papa terhenti saat Salena memasukkan satu sendok besar makanan ke mulutnya.

"Ini masih bisa dimakan," ujar Salena dengan mulut penuh.

Papa tersenyum, lalu mengangguk dan menyendok makanan ke mulutnya. "Makan yang banyak."

***


Arghi sedang merangkai mainan kuda-kudaan milik Saira yang dibelikan Bang Pandu semalam. Dia duduk di rumput halaman depan rumah, di bawah pohon akasia, menjaga Saira yang sedang bermain boneka di dalam tenda dan Zyan yang sedang bermain ayunan.

Mobil bertenaga baterai milik Zyan yang dikendalikan dengan remote sudah meluncur melewati batas taman, memasuki area batu yang terjal dan sulit kembali. Namun, Zyan memilih membiarkannya dan tetap bermain ayunan.

ONCE (Titik Teduh) [Sudah Terbit]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora