Titik Teduh #5

11.7K 1.6K 320
                                    

Arghi menggaruk kencang kepala belakangnya. Sejak siang, sepulang sekolah, Arghi berdiam di dalam ruang kerjanya. Ruangan kosong di belakang garasi yang digunakan untuk menyimpan semua barang tidak terpakai itu sama halnya dengan gudang. Namun, sudah lama Arghi mengubah ruangan itu menjadi ruangan pribadinya. Dia membereskan semua barang ke dalam lemari penyimpanan dengan rapi dan membersihkan debu di dalamnya sampai layak dihuni, bahkan sering digunakan untuk tidur siang, ada sofa panjang bekas sofa tamu yang tidak jadi dibuang dua tahun lalu karena Arghi memintanya untuk di simpan di sana.

Di tengah ruangan, ada meja bundar yang di atasnya disinari sebuah lampu menyerupai lampu operasi, tempat untuk membongkar semua benda yang dirasa perlu dibongkar atau dibenarkan. Dan sekarang, ponsel Diyas yang sedang berada dalam penanganannya, yang setelah menghabiskan waktu hampir dua jam belum kunjung selesai.

Arghi menggerakkan lehernya, pegal. Lalu setelah beristirahat sebentar sambil memandangi ponsel Diyas, dia memutuskan untuk ke luar ruangan.

Ada Bunda dan Kak Reysa di ruang tv, mereka duduk di sofa menemani Zyan yang sedang sibuk dengan perlengkapan dokter-dokterannya, juga Saira yang sibuk menggigiti peralatan salonnya.

Arghi mengambil botol air dari dalam lemari es dan meneguknya sambil melangkah menghampiri ruang tv. Dia berjongkok di hadapan Saira, melepaskan tangan Saira yang sedang mengulum hair dryer mainan. “Nggak boleh ya. Ini nggak boleh dimakan.” Arghi tersenyum melihat Saira yang wajahnya berubah cemberut.

“Bagus nggak warna ini buat aku, Bun?” tanya Kak Reysa. Dia sedang memangku kotak make-up, tangan kirinya memegang cermin sementara tangan kanan memegang lipstik.

“Bagus. Baru, ya?” tanya Bunda sembari mengambil alih kotak make-up, lalu melihat-lihat isinya.

“Nggak ke Titik Teduh, Kak?” tanya Arghi. Titik Teduh adalah nama kedai kopi milik suaminya.

Kak Reysa menggeleng. “Nggak, males kerja mulu,” jawabnya.

Arghi hanya menggeleng. Saat langkahnya akan kembali ke ruang kerja, Arghi menoleh lagi ke arah Kak Reysa. “Kak, punya HP bekas nggak?”

“Ada. Buat apa?” Kak Reysa berbicara sambil menatap cermin di tangannya.

“Masih dipakai nggak?” tanya Arghi lagi.

“Nggak.”

“Buat Arghi, boleh nggak?”

Kak Reysa mengangguk. “Jiji, sini dulu, deh.” Dia melambai-lambaikan tangan.

Arghi mengernyit, sedikit curiga, karena tingkatan pangilan untuknya di rumah adalah: Arghi Antasena = kalau sedang dimarahi, Arghi = biasa saja, Gigi = Kau sedang dibutuhkan, Jiji = Ya Tuhan, Arghi kamu sangat dibutuhkan. Namun, Arghi tetap melangkah menghampiri Kak Reysa dan duduk di antara dua wanita paling ribet sedunia itu.

“Mau HP, kan?” tanya Kak Reysa, dia tersenyum. Mencurigakan.

Arghi mengangguk.

Kak Reysa menarik wajah Arghi agar mendekat, mencium pipi kanan Arghi kuat-kuat sampai rasanya bibir kakak perempuannya itu bisa tembus ke pipi kiri.

Arghi berteriak, minta dilepaskan. Pipinya memang kerap dijadikan untuk percobaan lipstik baru oleh Bunda dan kakak perempuannya, karena kalau Zyan yang dijadikan korban, takut pipinya iritasi karena masih kecil. Sedangkan Arghi, bebas. Mau iritasi, bruntusan, jerawatan karena make-up milik kakak dan bundanya itu, peduli amat.

“Ih, katanya nggak berbekas, tapi nempel tuh Bun di pipi Arghi!” Kak Reysa cemberut. “Harus dikasih bintang satu, nih!” omelnya.

Bunda yang sedang mencoba lipstik lain segera menarik wajah Arghi. Mencium pipi sebelahnya lagi. “Iya, nih. Nempel gini,” komentarnya seraya melihat pipi Arghi.

ONCE (Titik Teduh) [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang