Titik Teduh #7

11.1K 1.6K 491
                                    

Salena melangkah terburu ke luar kamar, kakinya menggapai-gapai anak tangga, berusaha bergerak turun dalam keadaan gelap

К сожалению, это изображение не соответствует нашим правилам. Чтобы продолжить публикацию, пожалуйста, удалите изображение или загрузите другое.

Salena melangkah terburu ke luar kamar, kakinya menggapai-gapai anak tangga, berusaha bergerak turun dalam keadaan gelap. Lututnya sempat membentur meja ruang tengah saat dia akan melangkah ke luar, ponsel di tangannya jatuh. Dia berdecak, memungut ponsel dan kembali menyalakannya untuk menerangi langkahnya yang sekarang bergerak ke luar.

Dia membuang napas berat saat bisa membuka pintu ke luar, melangkah ke teras dan duduk di tepi. Di sini, setidaknya dia bisa melihat cahaya remang-remang dari lampu jalan.

Tangannya yang masih sedikit gemetar, sudah membuka lock screen di ponsel. Namun dia berhenti bergerak saat melihat nomor kontak Mama. Jika Mama tahu bahwa sekarang dia sedang sendirian dan ketakutan—karena mati lampu, pasti besok Mama akan menjemputnya untuk kembali ke rumah.

Entah sejak kapan tepatnya Salena takut gelap, ketika kualitas tidurnya semakin buruk,  dia sering terbangun tengah malam. Itu alasan, dia selalu menyalakan lampu kamar untuk berjaga-jaga ketika terbangun saat tengah malam. Mama sangat tahu akan hal itu, sehingga jika di rumah mati lampu, dia hanya perlu menunggu di kamar sebentar, lalu Mama akan datang dengan lilin untuk menemaninya. Di sini, tidak ada Mama, hanya ada Papa yang sibuk kerja.

Suara berisik dari arah pagar membuat Salena terkejut, dia memanjangkan leher untuk tahu siapa yang sekarang memasuki halaman rumahnya. Namun, dia  tidak menemukan siapa pun. Selanjutnya, dia melihat pohon pucuk merah di halaman rumah bergoyang-goyang, seperti ada orang di baliknya. Salena berdiri, meraih satu sandalnya dan dilemparkan ke arah sana.

“Aduh.” Pekikkan itu terdengar dan Salena bisa melihat seseorang berdiri dari balik pohon. “Eh, gue tamu, ya. Nggak seharusnya dilempar sandal begini.”

Arghi? Salena melihat laki-laki itu berjalan ke arahnya setelah memungut sandal miliknya tadi, satu tangannya membawa sebuah piring. Entah harus merasa kesal atau tertolong, dia melihat Arghi membawa cahaya senter dari ponselnya mendekat. Kesal karena dia sekarang sedang mengenakan piyama polkadot merah—sudah benar-benar bersiap akan tidur dan tidak akan ke luar rumah. Merasa tertolong karena ... sekarang dia tidak sendirian.

“Untung nggak kena piring,” rutuknya, ketika sudah sampai di depan Salena, menjatuhkan satu sandal tepat di samping kaki Salena.

Siapa suruh ngendap-ngendap masuk halaman rumah orang? “Ngapain?” tanya Salena ketika melihat Arghi mengangsurkan piring berisi potongan red velvet ke arahnya.

“Gue juga nggak tahu gue lagi ngapain,” jawabnya. “Tapi, gue udah nepatin janji, kan? Gue bilang, kalau nggak akan lama lagi giliran gue yang dateng ke rumah lo. Karena setahu gue, ibu-ibu di Indonesia memang senang bertukar piring sama tetangga dan biasanya nyuruh anaknya untuk nganter-nganterin.” Arghi menatap piring di tangannya. “Ini bikinan nyokap, katanya lo suka.”

Salena menerima piring dari tangan Arghi dengan wajah heran, kapan dia bilang pada orang lain bahwa dia suka red velvet? Dan setahunya, sejak Papa pergi tujuh tahun yang lalu, itu bukan lagi makanan kesukaannya. Bukan red velvet yang dia suka, tapi menunggu Papa pulang kerja dan membawakan sesuatu untuknya. Selanjutnya, Salena mengernyit karena melihat Arghi duduk di tepi teras. “Lo ngapain?”

ONCE (Titik Teduh) [Sudah Terbit]Место, где живут истории. Откройте их для себя