32| Bab 13: Langit

41 11 0
                                    

☁️☁️⛅️☁️☁️

Kami berhenti di depan sebuah warung. Bintang turun dan aku pun memarkirkan sepeda hitz ini.

"Mau beli apa?" tanyaku saat kami berdua sudah di depan box es krim.

"Ini!" Bintang memilih salah satu es krim yang paling mahal. Itu membuatku mengulum bibir sendiri dan tersenyum kecut. Namun ia malah tertawa puas.

"Bercanda, Ngit. Aku pilih yang ini aja." Ia menggantinya dengan es krim seharga lima ribuan. "Ini rasanya mirip sama yang tadi, tapi jauh lebih murah."

Menyedihkan. Inikah yang akan terjadi kalau aku, orang yang notabene adalah melarat, punya pacar. Lihat saja, aku akan jadi orang sukses nanti!

Kami duduk di salah satu bangku yang tersedia di sana, memakan es krim kami masing-masing dalam diam.

"Maaf, ya, karena gak bisa ngajak kamu ke tempat keren."

Bintang malah tertawa. Apanya yang lucu.
"Kalo kamu ngomong gitu, kedengerannya kayak kita bener-bener pacaran tau gak!"

"Ya, kita memang gak pacaran, tapi kan... ini beneran gak keren banget. Jalan-jalan pake sepeda emak-emak warna pink ngejreng, dan cuma makan es krim di warung pinggiran."
Bintang melihatku lucu. "Apa sih, kok jadi gak pedean gini? Cowok keren itu bukan cowok yang serbaada secara materi. Apalagi kalo uang yang didapet juga masih dari orang tua. Orang yang bisa ngertiin orang tuanya dan gak nyusahin, itu berkali-kali lipat lebih keren lagi. Bisa boncengin cewek pake kendaraan keren, ngajak jalan-jalan ke tempat mahal, tapi nyatanya bajingan. Itu juga gak keren tau! Yang kamu lakuin jauh lebih keren dan gentleman malah menurutku." Ia menggigit kembali es krimnya.

Sontak itu membuatku senyum-senyum sendiri. Aku membuang napas dalam, berusaha menetralkan perasan aneh yang menggerayangi tubuhku. Seketika aku langsung bertambah sayang pada mamakku di rumah. Bukannya sekarang tak sayang, tapi rasa kasih itu meningkat berkali-kali lipat sekarang. Aku senang masih ada gadis yang mau menghargai laki-laki culun sepertiku, tak merendah, tapi kenyataannya memang begitu bukan?

Tinggi badanku biasa saja, rata-rata cowok Indonesia. Wajahku biasa saja. Penampilanku biasa saja. Otakku biasa saja juga. Harta? Ya Tuhan, ini juga tak bisa dibanggakan. Aku ini memang benar-benar biasa. Keren, tidak. Culun, iya.

Tak terasa sedikit demi sedikit es krim kami pun habis. Seekor kucing mendekati kami, mengeong, dan melendot di kakiku.

"Bulunya mirip Wolfgang!" Bintang berseru riang.
Aku tersenyum dan langsung mengangkat kucing itu.

"Jinak banget." Bintang mengelus-elus punggung kucing di pangkuanku.

Aku tersenyum senang. "Suka banget ya, sama kucing?"

"Iya. Kami satu keluarga suka kucing semua."
Itu mengingatkanku akan seseorang. "Andro juga?" tanyaku kurang pasti.

Ia mengangguk dan mengangkat kucing itu untuk dibawa ke pangkuannya. "Bahkan kucing bunting pun dipanggil-panggil sama dia."
Sontak aku tertawa membayangkan abang-galak-hobi-memelotot itu bermain bersama seekor kucing lucu.

"Puas banget ketawanya?" Bintang memandang lucu. Sepertinya ia sudah lupa akan kejadian di toilet tadi. Baguslah.

"Ya lucu aja, bayangin abangmu main bareng kucing. Gak takut digrebek dia sama lakik si kucing itu?"

Kami tertawa bersamaan.

"Janda keknya." ucap Bintang dengan wajah lempeng, seolah-olah kucing itu benar-benar janda saja. "Waktu itu disinggung sama Mama, 'Ngapain sih Bang, kucing bunting dipanggil-panggil, mau ditanggungjawabi apa anaknya?'"

"Terus dia jawab apa?"

"Cuma dengus aja orangnya."

Kembali kami tenggelam dalam keheningan. Aku membuang stick es krim yang sedari tadi---tanpa sadar---terus kupegang-pegang. Suara bising menginterupsi acara bertapa kami, tiga orang bocah laki-laki datang dan langsung menggoda kami.

"Ciye-ciye lagi pacaran. Ciyeee...."

Kulirik Bintang yang biasa saja digoda seperti itu oleh bocah SD. Hanya aku sajakah yang tiba-tiba jadi salah tingkah karena ejekan bocah ingusan? Bintang bahkan tak melihat ke arah mereka. Sampai akhirnya bocah-bocah itu pergi dengan sendirinya.

"Dasar anak-anak!"

"Kamu terganggu?"

Ia tampak kaget. "Kamu gak terganggu diejekin anak-anak?"

Rasanya seperti ada yang salah. Bukankah dia yang tak terlihat terganggu. "Aku terganggu, tapi kamu keliatan biasa aja tadi!"

"Cara terbaik untuk ngusir pengganggu adalah dengan dicuekin. Nanti kan orangnya capek terus pergi deh," Bintang mengucapkan itu tanpa rasa bersalah.

Namun itu ada benarnya. Jika kita marah-marah, mereka pasti tambah kegirangan mengejek. Apa lagi jika diabaikan dengan ekspresi sedatar muka Bintang, pasti kesal banget. Boleh juga diterapkan mulai sekarang.

***

Selepas mengantar Bintang ke rumahnya, aku langsung pulang ke kos. Sesampainya di sana tadi, aku tak langsung pulang, Bintang menceritakan semuanya padaku---benar-benar hanya padaku. Ia ingin aku pun merahasiakan hal ini dari mamanya karena sepertinya Andro juga belum tahu. Untung mamanya Bintang percaya dengan alasan konyol kenapa wajahnya bisa diplester. Kalian penasaran alasan apa yang dipakai Bintang? Dia bilang, kami jatuh ke semak-semak dan dia kena duri tanaman waktu naik sepeda.

Semakin ke sini, semakin aku mengenal baik gadis itu. Aku tak tahu apa yang membuatnya menghubungiku---minta bantuan---serta mau memberitahukan semua kejadian yang menimpanya, tapi aku berjanji akan membantunya. Aku juga terkejut saat ia bercerita tentang masa SMP-nya, entah bagaimana suasana mengalir sampai ia menceritakan kejadian itu, yang kutahu sangat berat dan menakutkan. Namun dalam hati aku juga tersenyum geli, membayangkan kekonyolan itu.

Walau kini kuakui, aku mulai bingung dengan perasaanku padanya. Sejak bertemu Bintang, Venus perlahan-lahan menyingkir dari benak dan pikiranku. Ia perlahan masuk dan mengisi tempat yang dulu Venus agung di dalamnya.

Apa aku menyukainya?

Aku masih ragu, tapi aku senang saat ia bersama denganku; aku marah saat ada orang yang berbuat buruk padanya: aku ingin menjadi kekuatan di saat-saat masa rapuhnya; aku tak suka sikap Niel yang men-judge buruk dirinya.
Dinamakan sukakah itu? Sepertinya, iya, tapi masa secepat itu aku melupakan Venus. Apa hati manusia sedemikian cepat berubah? Lalu bagaimana setelahnya, apa saat ada orang baru, aku akan melupakan Bintang? Sama seperti saat aku melupakan cinta pertamaku.

Aku mengenyahkan semua pikiran itu, sudah terlalu malas untuk memikirkannya lagi. Aku beranjak bangun, mengambil handuk dan pergi ke kamar mandi. Air dingin sepertinya cukup baik untuk sekarang.

***
Sincerely,
Dark Peppermint
Rabu, 6 Februari 2019
Jumat, 15 Februari 2019 (Publish)

Fomalhaut the Lonely Star (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang