22| Bab 8: Bintang

51 16 2
                                    

★☆★☆★

Tak lama, mereka sudah berdiri di depan meja. Saat akan duduk di bangku panjang di hadapan kami...

"Eh, eh." Ayu bangkit dari duduknya dengan tergesa, membuat kami bertiga sedikit kaget akan ulahnya. "Di sini agak panas ya tempat duduknya." Ia memutari meja dan berdiri di samping dua sejoli itu.

"Aku duduk di sini aja deh," cetusnya lalu menduduki bangku di depanku. "Langit, kamu duduk di sana aja! Biar cepet sembuh tangannya kena matahari."

Alasan bodoh macam apa itu? Kena matahari bisa nyembuhin terlilir? Fitnah Dajjal macam apa ini. Dasar, kawan sialan!

"Iya, iya, duduk di sana aja," ucap Banda menyetujui usulan Ayu, langsung ia duduk di samping gadis jambu berambut bob itu.

Hm, aku mencium bau-bau konspirasi di sini.
Ayam masih diam saja berdiri dengan wajah bingungnya.

"Kamu ngapain? Cepet duduk sana!" perintah si Kacamata santai, seolah tidak ada rencana jahat di balik suruhannya itu.

Kikuk, si Ayam berjalan dan duduk di sampingku. Ia sempat melirik sekilas kemudian melihat buku catatannya. Matanya membola kaget seolah-olah baru melihat ikan berkaki.

"Eh, kamu lagi ngerjain catatanku?"

"Iya," jawabku singkat kemudian lanjut mencatat.
Kudengar ia hanya bergumam pelan sebagai jawaban.

"Kamu gak perlu ngerasa gak enak. Bintang ikhlas kok ngelakuinnya. Iya 'kan, Bi?"

Bisa tidak ya, aku pinjam palunya Thor buat getok kepala si Jambu satu ini. Aku menaruh curiga ia ingin nyomblangin aku sama makhluk gaib?

"Iya, ikhlas." Aku merutuk kesal mendengar ucapanku barusan.

Banda juga tersenyum puas. Apa dia pun mau jadi mak comblang? Cowok itu yang pertama menyuruhku menjadi babunya si Ayam. Kalau iya, buat apa? Maksudku, kami tidak saling suka, lalu buat apa dicomblangi tak penting seperti ini. Apa si Ayam diam-diam suka aku? Tidak mungkin! Jelas-jelas dia suka Venus. Lalu sejak kapan Banda dan Ayu saling kenal?

"Bi, kamu kenapa?"

Segera kutengadahkan kepalaku. Dahi Ayu terlihat mengerut dalam memandangiku penuh tanda tanya. Kulihat Langit dan Banda juga memerhatikanku dengan raut yang entah bagaimana itu. Sepertinya aku berpikir keras sampai wajahku jadi aneh lagi.

"Kamu kebelet?" tanya si Kacamata dengan muka lempeng.

"Enggak," sanggahku. "Udah abaiin aja." Cepat-cepat aku lanjut mencatat lagi.

Aku tahu mereka masih memerhatikanku. Sebisa mungkin kubuat gerakanku terlihat normal. Dan lagi, sejak kapan kami berempat sedekat ini? Aku dan Ayam dekat karena insiden itu, walau aku masih ragu menyebutnya sebagai "teman". Lalu bagaimana dengan Banda? Aku baru berbicara dengannya kemarin. Baru sekali itu saja.

Dipikirkan berapa kali pun tidak ada alasan untuk kami duduk bersama seperti ini. Kami kan tidak berteman, lalu kenapa begini?

Apa ini normal?

Apa orang-orang selalu seperti ini?

Apa begini prosesnya berteman?

Rasanya aneh. Aku tidak terbiasa dengan semua ini. Asing. Tapi aku tidak merasa terganggu atau tidak nyaman.

Entah apa yang telah terjadi dengan mereka. Saat aku tersadar dari lamunanku, mereka tengah membahas masalah kucing.

"Bintang juga suka kucing. Iya, 'kan, Bi?" Ayu menampilkan senyum meminta persetujuan dariku.

"Iya," balasku singkat.

"Kalau gitu, Bintang aja yang pelihara."
Aku menegakkan dudukku mendengar penuturan si Kacamata Bulat barusan. Memelihara apa ini?

"Iya, iya, setuju! Bintang aja yang pelihara kucing yang satunya." Gadis jambu itu menemukan kedua jari tengahnya di depan dada. Senyum cerah masih jelas sekali di wajahnya.

Belum sempat aku berbicara Banda si Kacamata Bulat memotong, "Mau ya, Bi? Aku gak suka kucing, jadi gak bisa pelihara mereka."

"Iya, kalo aku 'kan kamu tau sendiri di rumah ada biawak. Gak lucu kalo nanti kucingnya berantem sama biawak peliharaan bapakku, terus bunuh-bunuhan, hehehe," Ayu cengengesan tak jelas dengan ucapannya sendiri.

"Sumpah keren banget bapakmu miara biawak." Banda terkagum mendengar ucapan Ayu barusan. Namun tidak terlihat kaget sama sekali. Mungkin sebelumnya mereka sudah membahas biawak jantan, bernama George, milik keluarga Ayu.

"Aku...."

"Udahlah, Bi. Kamu 'kan suka banget kucing. Gak kasihan apa ngeliat kucing terlantar gitu."

Kucing? Terlantar? Mahkluk imut menggemaskan supermalas itu terlantar? Tidak bisa minum susu. Tidak bisa makan ikan. Tidak ada yang elus-elus manja kepala sama bawah mulutnya. Tidak ada yang usap-usap perut gendutnya. Tidak ada yang meluk-meluk tubuh penuh lemaknya. TIDAK!!!

Makhluk super-cute itu butuh kasih sayang. Ia butuh ibu asuh.

"Aku mau," tegasku mantap.

***

Sincerely,
Dark Peppermint


***

🐈🐈🐈🐈🐈🐈🐈🐈🐈🐈🐈🐈🐈
Kamis, 20 Desember 2018
Rabu, 30 Januari 2019 (Revisi)

Fomalhaut the Lonely Star (TAMAT)حيث تعيش القصص. اكتشف الآن