8| Bab 3: Langit

123 23 4
                                    

Deru napas teratur samar-samar terdengar, menerpa lembut wajah ngantukku. Mataku masih terasa berat untuk dibuka, apalagi dengan kehangatan yang berasal dari guling keras dalam pelukanku. Bukannya terbangun aku malah menarik guling itu semakin dekat dan memeluknya erat. Tiba-tiba suara dengkuran keras menyentakku dari dunia mimpi. Mengerjapkan mata berkali-kali, aku pun membuka mata.

Tepat di depanku, tercetak jelas wajah manusia yang tengah tertidur pulas dengan mulut menganga lebar. Aku kembali mengerjap, membelalak, dan mulutku terbuka dengan sendirinya. Tampang tolol ini bertahan sekitar tiga detik sebelum otak minimalisku mencerna semuanya. Dengkuran itu terdengar lagi.
Dengan kekuatan bulan, aku segera melepas pelukan eratku dari tubuh laki-laki yang kukira guling keras tadi. Inginku berteriak seperti seorang gadis yang ditodong rampok, tapi kuurungkan niatan itu, takut-takut malah kena tonjok nantinya. Sejurus kemudian, aku sudah membuka pintu kamar dan ngacir keluar.
Semalam aku sudah diperingati agar tidak rusuh saat tidur, tapi tadi aku terbangun dengan posisi memeluk preman pasar yang melihatku seperti aku telah menghamili adik perempuannya. Alhamdulillah, cowok itu kebo juga. Kalau tidak, Rip Langit Pradipa.

Langkahku terhenti saat melihat sepasang ibu dan anak yang terlihat sibuk menyiapkan sarapan. Sekadar info, ini hari Minggu.

"Eh, mantu Mama udah bangun, ayo sini kita sarapan sama-sama!" ajak Mama dengan ramahnya. Sebentar-sebentar, apa tadi? Mama? Bisa keterusan ini nantinya.

Kikuk, aku berjalan mendekat dan duduk di salah satu kursi.

"Abang belum bangun, ya?"

"Abang kau itu kan susah kali bangun. Mana mungkin dia udah bangun jam segini," sungut mamanya Bintang dengan logat Karo-nya yang kental akan pertanyaan barusan. "Bangunin dulu sana!"

Lantas Bintang mengangguk dan menjauh dari dapur, membangunkan kakak laki-lakinya. Tak berapa lama Bintang tiba dengan Andro yang berjalan di belakangnya. Di meja makan, aku sudah duduk anteng dengan kedua orang tua Bintang.

Andro duduk di kursinya dan melayangkan tatapan membunuh padaku. Segera aku membuang muka, lalu meneguk kasar ludahku yang rasanya sudah bercampur pasir. Dari kemarin tatapan itu selalu berhasil mengintimidasiku.

***

"Abangmu gak ada nyeritain aku?" Setelah mengumpulkan keberanian, akhirnya aku menanyakan hal yang menggangguku.

"Nggak," jawab Bintang santai.
Kini kami berdua tengah berdiri di depan teras menunggu mamanya Bintang keluar untuk mengantarku pulang. Sebenarnya aku ingin pulang sendiri, tapi tidak diizinkan.

"Dia gak dendam gitu samaku?"

Gadis itu menoleh dengan kerutan dalam di dahinya. "Dendam?" Ia diam sejenak. "Memangnya kamu pernah punya masalah apa sama dia?"

"Masalahnya aku juga gak tau masalahnya apa. Dan sekarang aku ngerasa jadi orang laknat akibat tatapan jahanam abangmu itu," itulah yang ingin ku-utarakan dengan bersungut-sungut. Namun... "Gak ada kok."
"Dia ngusilin kamu, ya?"

Aku tersentak seraya menoleh cepat. "Ah, itu...."

"Gak usah dijawab. Aku udah tau jawabannya. Dia memang suka berlebihan," potong Bintang. "Tapi kamu tenang aja, dia gak akan mukul orang kalo bukan masalah yang besar buat dia."
Semakin tidak tenang saja aku sekarang. Lagi, aku menelan ludah kasar, tapi sekarang aku merasa seperti ada batu besar tersangkut di tenggorokanku.

Benarkah ada batu di dalam sana? Kalau iya, siapa yang meletakkannya? Andro? Santetkah ini? Dia sudah bosan main tangan jadi sekarang pakai dukun. Menggunakan klenik untuk membalas dendam padaku karena dianggap menggoda adiknya. Akankah selanjutnya aku muntah darah? Muntah paku? Muntaber?

"Dia suka mukul orang?"

"Terkadang sih dia suka masuk BP karena mukul orang atau ikut tawuran. Tapi dia bukan orang jahat kok," ucap gadis itu dengan pandangan lurus. Lempeng banget mukanya, Ya Allah.
Wajahku mungkin sudah memias. Aku teringat kembali momen saat bangun pagi tadi. Tahukah Andro akan hal itu? Apakah tatapan tajamnya tadi pertanda ia curiga? Jangan bilang aku sudah mendaratkan pulau-pulau iler di seluruh wajah sangarnya.

Seperti baru menyadari kesalahannya, Bintang kembali berucap, "Gak usah takut! Dia gak bakal cari gara-gara kalo kamu gak cari masalah duluan." Seulas senyum terbit di bibir gadis itu.

Aku sedikit terperangah melihat senyum singkatnya. Sesuatu yang langka memang terlihat ganjil, tapi juga istimewa. Jika diingat-ingat, ini pertama kalinya aku melihat Bintang tersenyum. Sejauh ini gadis itu selalu tampak datar. Senyum seakan hal yang tabu untuknya. Kukira dia tidak punya stok ekspresi. Ketahanan pocker face-nya itu seperti kuatnya logam titanium. Bahkan aku pernah berpikir konyol bahwa Bintang adalah robot seperti di film. Tidak tersenyum, tertawa, atau jatuh cinta.

Dengan kepala menunduk, aku memerhatikan batu-batu di atas rumput halaman, sesekali menyingkirkannya dengan sebuah sepakan amatir. Senyum langka itu menimbulkan sensasi aneh di dadaku. Kaget. Namun seperti ada selimut imajiner yang tiba-tiba melingkupinya. Hangat.

***

Fomalhaut the Lonely Star (TAMAT)Where stories live. Discover now