15| Bab 6: Bintang

71 16 0
                                    

☆★☆★☆


"*Kamu nangis?" tanya seseorang bersuara berat dan dalam. Lantas aku mendongak, melihat siapa orang yang masih memelukku ini.

Kak Niel*.

Aku mematung di tempatku berdiri. Fungsi otakku rasanya rusak. Seketika jalur masuk informasi semuanya terputus. Saraf-sarafku langsung mati menerima rangsangan yang terlalu tiba-tiba ini.

Aku sedang dipeluk Kak Niel sekarang.
Laki-laki di depanku mengernyit heran. Garis-garis horizontal tercetak jelas di dahi putih bin mulusnya, bingung melihatku yang melongo lebar dengan wajah tolol. Aku belum tersadar sepenuhnya saat Kak Niel menjauhkan diri.
Aku berdeham bermaksud menormalkan detak jantungku, serta menyembunyikan rasa malu. Aku yang hanya sebahunya itu juga menunduk dalam. Suara deheman kembali terdengar. Namun kali ini bukan berasal dariku.

Kudongakkan wajahku takut-takut---padahal bukan mau melihat Valak. Kalau aku jadi Kak Niel, mungkin aku akan tersinggung dengan orang sepertiku. Wajahnya itu adalah wajah yang selalu dielu-elukan gadis-gadis di sekolah kami. Banyak yang histeris melihatnya. Aku pasti akan sangat tersinggung.

"Kamu gak perlu takut liat mukaku. Aku bukan Valak atau hantu tanpa kepala," ketusnya dingin.
Aku memelotot kaget mendengarnya. Sepertinya Kak Niel bisa baca pikiran. Sumpah, aku tak bermaksud begitu. Aku memang tidak pandai menunjukkan ekspresiku kepada orang-orang. Apalagi kalau sedang gugup, kata Ayu, wajahku akan terlihat aneh dan horor seperti melihat Sadako keluar dari sumur.

"Bu-bukan," kataku gagap," aku memang jadi gini kalo lagi gugup." Kembali aku menundukkan kepalaku.

Kak Niel mendengus geli. "Jadi kamu gugup ngeliat aku?"

Ia tersenyum lucu melihatku yang semakin salah tingkah. Tak lama, terdengar suara tawa nyaring menggema di dalam gudang. Aku terheran mendengarnya, memerhatikan wajah tampan laki-laki itu yang tengah tergelak. Matanya menyipit sempurna memperlihatkan eyes smile yang manis sekali. Entah bagaimana ekspresiku sekarang. Mungkin lebih bodoh dan memalukan dari sebelumnya. Namun, ada kehangatan yang menguar di sela-sela dadaku. Tawa renyah itu terdengar seperti nyanyian dari surga. Seperti candu yang membuatku ingin berlama-lama mendengarnya.

"Sumpah, mukamu lucu banget!" katanya dengan sisa-sisa tawa yang terdengar menyenangkan. Wajah yang terlihat cerah---berbeda dari biasanya---itu, membuatku tersenyum lembut.

"Tapi senyum kamu juga manis sih."

Aku mengerjap-ngerjapkan mata. Lagi-lagi aku merasa seperti menelan racun yang mematikan fungsi saraf dan otakku. Seberbahaya inikah efek Kak Niel untukku? Apa aku juga bisa sakaw, kalau terlalu sering berdekatan dengannya seperti ini?

Orang di depanku itu juga tersenyum lembut. Pandangan kami terkunci beberapa saat, saling memerhatikan wajah masing-masing, sampai sebuah suara menginterupsi kegiatan kami.

"Citt... citt...." Sekelebat bayangan berlalu dan menghilang di balik meja-meja dan kursi yang tidak terpakai.

Wajah Kak Niel mendadak pias. Suara itu kembali menunjukkan eksistensinya dengan berlari ke arah kami---seperti menantang.
"Ahhhhhhh," jeritan laki-laki jangkung itu memekakkan telingaku.

Sambil menutup telinga, aku melihat Kak Niel yang sudah lari tunggang-langgang ke sana kemari. Ada rasa geli dalam hatiku saat melihatnya begitu. Sangat berbeda sekali dengan Kak Niel cowok ganteng ber-image cool dan keren.

Laki-laki itu sudah berdiri di atas salah satu meja, masih dengan jerit histeris melihat si hewan pengerat. Tak lama, tikus itu menghilang di kumpulan kardus-kardus bekas dan barang lainnya. Rasa lega terpancar jelas saat ia mengembuskan napasnya. Kak Niel kemudian melihat ke arahku yang memandanginya lucu.

"Em, itu." Ekspresinya terlihat kalut sambil berusaha turun dari atas meja.

Tiba-tiba, tikus lain keluar dari bawah meja tempatnya berdiri. Dan lagi.... "Huaaa...."

***

Sincerely,
Peppermint

※※※※※※※※※※※※※※※※
Rabu, 12 Desember 2018

Fomalhaut the Lonely Star (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang