“Duduk.”

Salena tahu Arghi sedang duduk, tapi untuk apa? Mereka tidak sedekat itu untuk duduk bersama saat malam hari dan hanya ditemani remang-remang cahaya lampu jalan di depan rumah. Namun, Salena ikut duduk di sampingnya, dengan jarak satu rentang tangan.

Arghi menaruh lampu ponselnya yang masih menyala di atas kepala Salena. “Lo takut gelap?” tanya Arghi.

Salena menoleh ke atas, menepis tangan Arghi. “Sok tahu.”

“Emang kedengaran nuduh? Gue nanya, kali.” Arghi bergumam sambil menatap Salena, heran. “Mati lampu, bukan nyalain lilin. Malah diem di luar rumah.”

“Gue nggak tahu Papa nyimpen lilin di mana.” Bahkan dia curiga kalau di rumah tidak ada persediaan lilin.

“Oh.” Arghi berdiri. “Ya, udah. Gue balik, ya. Kayaknya lo juga udah mau tidur.”

“Eh!” Salena menaruh piring di teras, tangannya segera menarik ujung baju Arghi.

Arghi menatapnya. “Kenapa?”

Salena berdeham, tangannya perlahan melepas baju Arghi. “Nggak.” Dia menggeleng pelan.

“Kelihatan lebih manusiawi muka lo kalau lagi takut, ya?” Arghi terkekeh. “Takut gelap, ya?” tanya Arghi lagi, seolah-olah ingin membuat Salena mengakui kelemahan yang dimilikinya.

Salena mengalihkan tatapannya, tapi dia tahu Arghi kembali duduk di sampingnya.

“Kenapa takut gelap?”

“Kalau bisa terang kenapa harus memilih gelap.”

Arghi mendecih. Wajahnya seakan berkata, Jawaban macam apa, tuh? “Jadi kalau tidur malem, lo tetap nyalain lampu?” Arghi masih berusaha membuat Salena bersuara.

Kenapa sih ini orang? “Salah?” Salena meraih piring pemberian Arghi tadi, mengambil satu potong red velvet dan menggigitnya, berharap Arghi tidak lagi mengajaknya bicara selagi makan.

“Cahaya itu bisa mempengaruhi kualitas tidur. Pernah dengar kalau orang yang tetap menyalakan lampu saat tidur itu rata-rata punya kualitas tidur yang buruk? Lo anak MIA, ya. Seharusnya lo lebih tahu tentang cahaya yang bisa menghambat sel-sel saraf untuk menghasilkan hormon .... Hormon apa gue nggak tahu, yang bisa menyebabkan orang ngantuk.”

“Melatonin.” Salena menahan kunyahannya untuk berkomentar.

Arghi menjentikkan jari. “Lo bisa pakai lampu tidur, sebagai solusi.”

“Ketinggalan, di rumah Mama.” Salena sudah menghabiskan sepotong kue dan menaruh piring di pangkuannya.

Arghi mengangguk-angguk. Lalu, seperti memberi kesempatan pada Salena untuk memakan lebih banyak kue, Arghi terdiam beberapa saat. Dan Salena memanfaatkan kesempatan itu, setidaknya saat makan dia tidak akan tersedak.

“Gue juga punya sesuatu yang gue takutin. Dan itu nggak enak banget,” ujar Arghi tiba-tiba.

Salena sedikit kesulitan menelan makanan di mulutnya, sepertinya dia butuh minum, tetapi tidak ada keberanian untuk mengambilnya ke dapur. Tidak mungkin juga dia menyuruh Arghi menemaninya.

“Tapi gue punya alasan, kenapa gue takut akan hal itu.” Dia menoleh, menatap Salena. “Lo juga pasti punya alasan kenapa lo takut gelap. Nggak usah cerita, karena gue tahu lo nggak akan cerita.”

Salena menghindari tatapan Arghi. Dia menatap lurus, menatap lampu jalan, dan tidak berniat menanggapi ocehan Arghi.

Arghi menjentikkan jari. “Saat lo tidur, semuanya juga jadi gelap. Lo merem, dan semua gelap,” gumam Arghi. “Apa bedanya? Sama mati lampu?”

ONCE (Titik Teduh) [Sudah Terbit]Where stories live. Discover now