"Makasih ya, Sam," Aku beranjak, membuatnya berhenti dan menoleh bersama senyuman yang kudapati ada sebersit kekecewaan di matanya. "Aku pergi sekarang."

Aku langsung keluar, menuruni lift bersama serangan rasa bersalah. Aku tidak tahu kalau Sam akan memasakkanku spageti untuk makan malam. Aku sama sekali tidak mengira kalau ketidahadiranku di ruang tengah nyaris seharian tadi membuat Sam berasumsi kalau aku nggak makan. Sungguh, aku tidak tahu kenapa Sam masih melibatkan dirinya ke dalam kehidupanku, bahkan untuk hal-hal remeh seperti makanan. Padahal aku bukan bocah yang untuk makan saja harus dipaksa-paksa. Aku perempuan dewasa dan sehat yang bisa melakukannya sendiri.

Sesampainya di lobi, mataku mengedar mencari sosok perempuan berambut pendek yang menyebut sedang di lobi, tapi tidak kutemui. Di sofa tempat menunggu, kutemui seorang laki-laki berusia awal tiga puluhan yang langsung tersenyum begitu melihatku. Dia berdiri, mengusap-usap celana jins dan membetulkan sweter yang membungkus kemejanya, kemudian menghampiriku.

"Luh Lituhayu, temannya Annet, kan?" tanyanya ketika melihatku menatapnya sambil terbengong-bengong. "Adnan. Sepupu Annet." Laki-laki itu mengulurkan tangan ke arahku.

Waktu Annet bilang kalau Adnan ini semacam Hot Young Daddy so-whatever-she-called-it, aku menanggapinya biasa saja. Bagaimanapun, Adnan ini sepupunya. Sudah pasti Annet akan memujinya habis-habisan karena mereka berasal dari garis keturunan yang sama. Tetapi setelah bertemu dan menatapnya secara langsung, Adnan lebih dari yang digambarkan Annet. Dia rapi, ganteng, dan cara dia menatapku, terlihat sangat sopan. Tidak terlihat seperti seseorang yang meneliti orang lain yang baru pertama dilihatnya—meskipun barusan aku memuji penampilan fisiknya.

"Luh," jawabku sambil menyambut uluran tangannya. "Lho, Annet-nya mana ya?"

"Katanya dia udah di 21 untuk dapetin tiket lebih awal. Katanya supaya posisi nontonnya nyaman, terus saya diminta jemput kamu langsung dari kantor," jelas Adnan kemudian.

Oh, pantesan rapi seperti ini. Dalam hati aku merutuk. Ini hanya akal-akalan sahabatku saja, supaya kami bisa saling mengenal satu sama lain dalam perjalanan. Seakan-akan hidupku akan menderita saja seandainya aku betah menjomblo.

Aku mengangguk-angguk. "Kalau gitu, kita langsung berangkat aja ya. Nggak enak biarin dia nunggu. Nggak kebayang misuh-misuhnya kayak gimana kalau sampai telat." Sebenarnya yang akan misuh-misuh itu jelas aku. Kenapa Annet mengirim Adnan ke sini coba, padahal dia yang punya janji denganku.

Adnan membukakan pintu keluar untukku. Dengan gerakan wajah menyilakan aku keluar duluan. Sopan banget. Saat aku hendak melangkah, seseorang memanggil namaku dari belakang dengan cukup keras. Aku menoleh dan mendapati Sam setengah berlari berjalan ke arahku. Tangannya membawa sesuatu yang terasa tidak asing. Tasku.

Astaga, aku melupakan hal sepenting itu.

"Kamu ninggalin ini, Luh," katanya sambil menyerahkan tas itu kepadaku. Napasnya sedikit terengah. Dia memakai setelan rumahan yang kulihat tadi. Kaus longgar dan celana selutut, berikut sandal teplek seperti dia barus saja membawanya dari hotel tempatnya menginap. Sekarang, dia menatap sosok Adnan yang masih memegangi pintu untukku.

"Astaga, Sam. Kok aku seteledor ini, ya? Makasih." Kenapa aku bisa sebodoh ini sih?

Setelah itu seperti ada keheningan yang panjang. Waktu terasa berhenti dan hanya ada kami bertiga di lobi. Aku tidak tahu harus ngapain sekarang, melontarkan kata-kata seperti apa yang pas untuk mengakhiri momen yang kurang nyaman ini.

"Oh ya, Sam, ini Adnan, sepupunya Annet." Aku lalu beralih kepada Adnan. "Adnan, ini Sam." Keduanya kemudian bersalaman, dan setelah ini aku ingin menghilang saja kalau bisa.

Head Over Heels (Kisah Cinta Ironis Sam dan Luh)Where stories live. Discover now