Akan sangat tidak mungkin kalau aku langsung menjawab, "Maaf Om, kami sudah berpisah. Jadi nggak perlu manggil itu lagi. Dan sebaiknya kalian menginap di hotel saja, karena akan sangat mengganggu privasiku," sementara sekarang kami tinggal bersama. Yah, TINGGAL BERSAMA. Tidak berguna banget kalau aku menjelaskan dengan panjang lebar, sementara dua kata itu sudah mengartikan sesuatu. Jadi aku membalas, kalau aku sesehat yang mereka lihat dengan ekspresi seramah mungkin, yang di mata mereka mungkin terlihat sepotensial calon menantu ideal.

"Kamu tidak ngantor, Luh?"

Saat mamanya Sam melontarkan pertanyaan itu, aku bingung harus menjawab apa. Mempersingkat penjelasan menjadi jawaban yang tidak akan memancing pertanyaan lain bukan hal yang gampang. Namun, terima kasih kepada Nana yang langsung menengahi.

"Mam, Sam sekarang kerja di kantor keren lho. Masa ngebiarin calon istrinya banting tulang sih?"

Setelah itu aku terbebas dari momen harus menjelaskan alasan kenapa aku tidak bekerja. Tetapi bukan berarti aku lolos dari jeratan pertanyaan lain begitu mamanya Sam mengecek dapur dan mendapati kulkasku kosong. Akhir-akhir ini Sam sangat sibuk, sehingga tidak sempat belanja keperluannya. Mengisi kulkas dan kebutuhan lain seakan itulah tanggung jawabnya selama tinggal bersamaku. Belakangan ini Sam hanya membawa makanan siap saji yang disimpannya untukku di dalam kulkas, yang awalnya aku tidak tahu kalau makanan itu untukku sehingga beberapa pernah sampai basi dan berakhir di tong sampah.

Dan aku ... apa yang bisa diharapkan dariku saat ini? Tidak pulang ke Yogyakarta untuk menyetujui perjodohan yang diajukan Bunda saja sudah bersyukur banget.

"Ya sudah, kalau begitu antar Tante ke supermarket terdekat ya." Mamanya Sam langsung mengajakku dan Nana ke supermarket, yang membuatku terlihat gagal menjadi calon menantu idaman. Di luar sana anaknya tengah bekerja keras, sementara aku si calon istri malah keluyuran dan membiarkan kulkas sampai kosong.

Aku jadi teringat perkataan Sam dulu, yang diucapkannya di taksi dalam perjalanan pulang ke bandara. Katanya, "Luh, suatu saat nanti, kalau kamu nikah sama aku, aku nggak peduli kamu nggak bisa masak, nggak bisa ngelakuin hal-hal yang orang lain anggap harus dimiliki seorang calon istri, karena yang aku butuhin itu cuma kamu di sisi aku."

"Dalam suka atau duka?" godaku.

Sam mengangguk. "Itu aja," jawabnya. "Bukan yang lain." Lalu dia mengecup ujung kepalaku.

Saat itu aku hanya menanggapinya sebagai gombalan, mungkin dia masih terbawa suasana pernikahan Nana yang memang berkesan banget di hati. Membersitkan keinginan yang sama di benak manusia para lajang yang menghadiri acara.

Lalu, sekarang, aku baru menyadari bahwa aku memang sebodoh itu sebagai perempuan. Melepas seseorang yang ternyata bukan hanya aku mencintainya, tapi juga seseorang yang selalu aku butuhkan untuk selalu berada di sampingku.

SAM

NAH, yang seperti ini.

Sebuah potret keluarga yang pernah gue bayangkan di masa depan. Sekelompok orang yang bersuka cita di dalam satu ruangan sederhan, dan yang paling penting adalah, ada Luh di dalamnya.

Kami makan malam bersama di meja makan yang nggak terlalu luas ini. Ada Mam, Dad, Nana dan Carl, anaknya yang baru umur setahunan, Luh, dan tentu aja gue si calon pemimpin keluarga di keluarga kecil gue nanti. Kami berbincang hangat selayaknya sebuah pasangan pengantin baru yang dikunjungi oleh salah satu orangtuanya. Selama makan malam berlangsung, Dad nggak henti-hentinya ngajakin Luh ngobrol, bertanya soal Yogyakarta beserta angkringan yang membuatnya jatuh cinta sama negeri ini—lebih tepatnya, jatuh cinta kepada Mam.

Head Over Heels (Kisah Cinta Ironis Sam dan Luh)Where stories live. Discover now