23. Stuck In The Moment

Start from the beginning
                                    

"Apa sebaiknya kita pulang aja? Lagian lo ngapain sih pakek jatuhin kursi segala? Ganggu momen mereka tau nggak?"

Gilang hanya mengangguk-angguk. Sambil masih tersenyum memperhatikan tingkah Vanya yang merasa bersalah.

"Lo ngomong dong, Lang. Jangan diem aja terus senyum-senyum nggak jelas kayak gitu."

"Abisnya lo lucu sih. Mereka yang ketahuan kenapa lo yang ngerasa canggung?"

"Kayaknya lo emang lebih baik diem aja deh. Lo kalo ngomong nyebelin."

Gilang hendak menjawab tapi urung saat melihat Arini dan Aji keluar.

"Oh, kalian udah nyampe? Sejak kapan?" tanya Arini dengan nada canggung yang berusaha ia tutupi.

Tapi Gilang tentu masih bisa menangkap gelagat aneh dari kakaknya itu. "Udah nyampe dari tadi. Aku juga udah mencetin bel berkali-kali tapi nggak ada yang bukain. Eh ternyata yang punya rumah malah asik ciummph." Gilang menoleh kesal pada Vanya yang menutup mulutnya. Namun kekesalannya langsung luntur saat melihat gadis gantik itu melotot padanya sambil berbicara tanpa suara dimana gerakan bibir yang ditangkap Gilang seperti lo-diem-aja-kalo-nggak-gue-tendang-sampe-singapur-mau-lo?

Gilang langsung tersenyum di balik telapak tangan Vanya. Mereka baru menoleh saat mendengar Aji berdehem santai. Pak dokter itu duduk di seberang sofa diikuti Arini di sebelahnya.

"Jadi kalian sudah siap belajar untuk hari ini?" Suara Aji membuat Vanya terkesima tiga detik, lantas pada detik keempat gadis cantik itu mengangguk antusias. Membuat Gilang mendengus kasar.

"Coba dibuka bukunya dulu."

"Kalian mau minum apa? Aku buatin dulu ya di dalam." Kata Arini lalu segara masuk kembali ke dapur.

Gilang melihat Vanya sudah membuka buku paket biologinya. "Gue ke dalem dulu ya. Mau bantuin kakak bikin minum." Pamit cowok itu dan langsung dijawab Vanya dengan anggukan ringan.

Sesampainya di dapur, Gilang langsung berdiri di samping kakaknya sambil membantu memasukkan es batu ke dalam gelas.

"Kamu ngapain ikut disini? Kakak bisa bikin sendiri."

Bukannya menjawab Gilang malah memperhatikan wajah kakaknya dengan seksama. Dan cowok itu menyadari bahwa bibir mungil kakaknya terlihat membengkak. Sepertinya karena ciuman tadi. Pemandangan selanjutnya yang tak luput dari perhatiannya jatuh pada leher putih sang kakak yang memerah juga kemeja putihnya yang kusut.

Sepertinya ia memang tidak seharusnya datang ke sini dan mengganggu momen bulan madu kakak imutnya ini. Gilang mulai merasa bersalah.

"Rambutnya jangan diikat, kak. Dan sebaiknya kakak ganti baju sekarang." ucap Gilang sambil menarik pelan ikatan rambut Arini. Melepaskannya.

"Kenapa?"

Gilang mengendikkan bahu, "Well, kalo kakak nggak ingin makin malu lagi di depan Vanya karena udah ketahuan melakukan adegan panas di dapur, sebaiknya kakak dengerin ucapanku."

Kening Arini berkerut bingung, membuat Gilang gemas bukan main.

"Ini bengkak," Gilang menunjuk bibir Arini dengan jari telunjuknnya, "Ini merah," Gilang menunjuk pada leher Arini, "Dan ini..." Gilang menunjuk pada pakaian Arini yang kusut, "Sangat berantakan." Lanjutnya kemudian.

Mata belo Arini yang lebar semakin melebar. Dan jangan lupakan bagaimana pipi chubby gadis itu bersemu merah karena ucapan sang adik.

Arini berdehem, "Kalo gitu aku ganti baju dulu."

Saat wanita mungil itu hendak melangkah, Gilang memegang pergelangan tangan sang kakak lalu tersenyum lebar ketika menyadari apa yang ada di pikiran kakaknya itu.

Glass BeadWhere stories live. Discover now