6. Air Mata Jatuh Saat Hujan

Start from the beginning
                                    

"Duren sawit apaan?"

"Duda keren sarang duwit. Pak Arshaka."

Aku terkekeh, Nania ini memang ada-ada saja. Tetapi, tak menampik memang kenyataanya Pak Shaka adalah duda keren yang kaya raya. Siapa yang tidak tau kantor mewah dengan desain bintang lima miliknya itu yang menjulang tinggi di tengah kota?

"Sepeti yang aku bilang di awal, jangan bilang siapa-siapa kalau pernikahan ini cuma bohongan. Ini menyangkut keluargamu juga, menurut rumor ancaman yang keluar dari mulut Pak Shaka bisa jadi kenyataan kalau kita tak menggubrisnya."

"Iya, tenang aja. Tapi, kapan-kapan..." Nania memasang wajah sok manisnya, "aku diajak ke rumahnya Pak Shaka. Ya ya ya?"

"Ngapain?"

"Pengen ngerasain jalan di lantai mahal."

"Haish, norak!" aku melempar kain serbet ke arah wajah Nania, gadis berkacamata bulat itu mengerucutkan bibirnya, kesal.

"Tapi ya, Bel. Tuhan itu menunjukkan otoritas-Nya nggak sih? Saat kamu bilang, this year not my turn to be love , nyatanya Tuhan ngasih porsimu tahun ini. Catch you!" ledek Nania menodongkan jarinya membentuk pistol ke arahku, terlihat senang sahabatnya terkena omongannya sendiri.

Aku tertawa sembari menata gelas-gelas kecil di atas counter, "Aku emang mau nikah, tapi bukan jatuh cinta. I'm still in safe zone, Nania. Porsiku jatuh cinta memang bukan tahun ini, pernikahan ini pun atas dasar keterpaksaan. Kalau bukan karena kedai ini akan dijual, aku tidak akan pernah menerima tawaran gila itu," balasku tidak mau kalah.

"Whatever, tapi aku yakin tahun ini juga bakal jadi tahun porsimu jatuh cinta."

"With who?" Aku mengangkat bahu bertanya dengan ekspresi tidak percaya atas ucapan Nania.

"Of course duren sawitlah."

"In your dream!" balas telakku, apa yang dikatakan Nania tidak mungkin terjadi. Aku sudah memperhitungkan matang-matang bahwa porsiku untuk jatuh cinta masih jauh, bukan saat ini atau beberapa saat ke depan. Yang pasti dengan pria idamanku, seorang pria yang meneduhkan sorot matanya untukku, berpenampilan sederhana, dan mampu menghangatkan sisi lainku yang kesepian. Dan aku yakin, Arshaka Shabiru bukanlah orangnya.

Pintu di buka, aku dan Nania sama-sama menoleh.

"Hai, Ton!" sapaku mendapati Antoni berdiri di pintu. "ke mana aja sih lo? Gue jarang banget ngeliat lo." Aku berjalan ke arah Antoni.

Senyumku yang semula merekah, mendadak kikuk melihat wajah kusut Antoni. Pria itu menatapku dengan tatapan tak biasa, seperti memendam suatu kemarahan yang meredam dadanya.

"Wajah lo kenapa? Kusut bener kayak baju belum disetrika."

"Gue mau ngomong berdua sama lo," ucap Antoni datar dan dingin.

Aku tidak mengerti, aku kebingungan melihat tingkah Antoni yang tidak biasa. "Yaa,...ngomong aja."

Antoni menghela napas panjang sebentar, "Gue tunggu di luar," ucapnya sembari memutar tubuh dan keluar dari pintu.

Sejenak aku mengerutkan kening, heran. Karena cukup penasaran, aku melangkah menyusul Antoni yang sudah menunggu di teras kedai.

***

Aku menatap punggung yang tertutupi jaket levis itu dengan perasaan heran. Antoni berdiri menghadap jalanan, kedua tangannya tenggelam di saku jaket. Langit tampak mendung, banyak genangan air di mana-mana karena baru saja turun hujan deras. Aku bisa menebak, setengah jaket Antoni basah karena hujan tadi.

"Ada apa, Ton? Gue nggak punya banyak waktu, bentar lagi gue buka kedai."

Terlihat bahu tegang Antoni, menurun. Detik berikutnya dia memutar tubuhnya menghadapku. "Lo mau nikah, Bel?"

Kelopak mataku terangkat, bola mataku menatap balik bola mata Antoni. Meski ragu darimana Antoni tau, aku perlahan mengangguk memberi jawaban.

Antoni tertawa sumbang, sangat kontradiksi dengan sorot matanya yang seolah menampakkan kekecewaan yang teramat besar, "Gue pikir lo masih megang prinsip lo. Tapi gue salah."

"Gu-gue-," Aku terbata-bata mencari alibi.

"Cukup, Bel. Lo nggak perlu jelasin alasan lo," sela Antoni, "Karena gue udah tahu, gue udah denger semua percakapan lo sama Nania." Nada bicara Antoni mulai berubah. Ternyata ada yang mendengar pembicaraanku dengan Nania, sepertinya aku harus lebih berhati-hati lagi.

"Dan gue nggak nyangka aja Sabella Hasyim yang gue kenal punya prinsip hidup yang kuat, harus rela ngejual diri demi uang," ucap Antoni sarkastik.

Keningku berkerut, pandangan mataku menajam tidak terima dengan kalimat terakhir yang Antoni lontarkan kepadaku. "Gue nggak ngejual diri!"

"Lo nikah sama dia cuma mau dapetin uang. Trus apa bedanya sama ngejual diri!?" kata Antoni dengan nada tinggi, tampak jelas guratan urat dilehernya.

Plak!!

Aku menampar pipi kiri Antoni. Pernyataan Antoni cukup menyakiti harga diriku. "Gue nggak pernah punya niat ngejual diri!?!"

Rahang Antoni tampak mengeras, tiba-tiba dua tangannya mencengkeram bahuku. "KALO LO BUTUH UANG, SEHARUSNYA LO BILANG KE GUE!? GUE BISA NGELAKUIN APA AJA BUAT LO, BRENGSEK! LO GAK PERLU NIKAH SAMA SIAPA PUN!"

Aku terhenyak, baru kali ini aku melihat Antoni seperti kesetanan. Melihat ekspresi ketakutanku membuat Antoni perlahan melepaskan cengkeramannya. Menutup matanya sebentar, mungkin mencoba meredam emosi yang bergejolak dalam dada. Detik kemudian, setelah merasa sedikit tenang dia membuka matanya kembali.

Antoni menatap mataku sebentar, kemudian berkata, "Gue cinta sama lo."

Pernyataan tanpa basa-basi Antoni mencekat tenggorokanku. Dentuman keras di dada kiriku terasa menggedor-gedor, setiap jengkal pompaan jantung seolah terasa. Mendadak tubuhku menegang.

"Gue mau bilang itu sama lo sejak dulu, Bel. Tapi gue tau betul prinsip hidup lo. Cinta bukan porsi lo saat ini," kata Antoni menatap intens mataku.

"Dua tahun yang lalu, di perpustakaan kampus. Lo pinjem pensil warna ke gue, sejak itu gue mulai suka sama lo. Perasaan gue semakin dalem saat gue tau kehidupan dibalik layar lo sebagai mahasiswi paling berprestasi di kampus. Lo gadis yang mandiri, lo gadis yang kuat, berani dan tentunya punya sisi kecantikan yang nggak bisa gue jelasin dengan kata-kata. Selama itu, Bel, gue nyimpen perasaan gue ke lo." Terdengar nada suara berat yang menyiratkan kejujuran paling dalam.

Aku seolah kehilangan kata-kata, masih mencoba beradaptasi dengan jantungku yang bekerja diluar normal. Sebisa mungkin aku mengatur napas agar tidak terlihat memburu, meski sebenarnya dadaku menjerit meminta pasokan oksigen lebih banyak lagi.

"Lo sama sekali nggak paham, Bel, perjuangan gue selama ini ke lo. Gue rela bolos kuliah cuma mau nganterin surat lamaran buat lo ke perusahaan-perusahaan. Gue rela nemenin lo seharian di kedai meskipun gue capek, karena gue seneng ngeliat lo semangat." tatapan Antoni terlihat berubah, seperti tak ada lagi amarah di dalamnya, hanya rasa kecewa terlihat jelas di matanya.

"Seharusnya lo ngomong ke gue, gue bisa bantu lo. Gue bisa jual apa pun yang gue punya buat beli kedai lo dan gue nggak butuh imbalan dari lo. Seharusnya lo nggak perlu ngelakukan hal bodoh dengan nerima pernikahan konyol ini," pungkas Antoni sebelum akhirnya aku melangkah pergi dari hadapanku yang mematung.

Punggung Antoni semakin menjauh, bersamaan dengan itu gerimis jatuh kembali. Aku masih mematung di tempat, membiarkan hujan menutupi air mataku.

Hari ini aku kehilangan sahabat. Sahabat yang selama ini ternyata diam-diam mencintaiku. Bahaya terbesar dari tali persahabatan antara cewek dan cowok adalah adanya rasa yang tumbuh, rasa itu kian mengakar yang kemudian memberikan sebuah pilihan; mengungkapkan dengan risiko ditinggalkan, atau memendam dengan risiko tersakiti hati sendiri.

Aku tidak menyangka jika hal tersebut kini terjadi padaku. Sangat mengejutkan dan sedikit mengapa terasa mengecewakan?

Kedai CinderellaWhere stories live. Discover now