19. Pertemuan Pertama

Mulai dari awal
                                    

Haris yang melihat interaksi kedua anak muda itu sempat terpana lalu ia tersenyum lebar. Ada dua hal yang diketahui oleh Haris, pertama, ternyata anaknya dipanggil dengan sebutan Vanya di sekolah barunya. Kedua, putri semata wayangnya itu lebih menuruti ucapan Gilang dibanding papanya sendiri. Anehnya, Haris sama sekali merasa tidak keberatan. Lagipula, jika dilihat-lihat, Gilang sepertinya anak baik-baik dan juga dari keluarga baik-baik.

Sepeninggal Vanya, Gilang dan Haris bercakap-cakap ringan membahas tentang sekolah Vanya, teman-temannya, dan sedikit kehidupan tentang Vanya. Haris bahkan tanpa ragu meminta Gilang untuk mengawasi tingkah laku anaknya dan membimbing Vanya di sekolah.

Dari cerita itu, Gilang tau kalau sebenarnya orang tua Vanya sangat menyayangi anaknya. Hanya saja mereka memiliki cara yang sedikit berbeda dari kebanyakan orangtua pada umumnya. Bagi Haris, hidup Vanya akan bahagia dengan terpenuhnya segala kebutuhan materi. Sehingga pria paruh baya itu sedikit mengabaikan momen-momen kebersamaan antara dirinya dengan Vanya. Mungkin karena hal itulah, membuat Vanya jadi anak bandel, meskipun tidak pernah membangkang. Vanya juga memiliki hubungan yang tidak begitu dekat dengan orang tuanya. Sehingga, saat gadis itu mendapat kesulitan atau masalah, Vanya diam saja. Tidak pernah bercerita.

Gilang menatap layar ponselnya saat benda pipih itu berbunyi, memberi tanda ada pesan masuk.

Zhevanya_Anastasya
Gue nggak akan turun ke bawah buat nemuin lo. Lo rese, nyebelin. Gue jadi males ketemu sama lo.

Membaca chat itu, Gilang terpaksa harus menggigit lidahnya sendiri, berusaha supaya tidak tertawa dengan tingkah kekanakan Vanya. Cowok itu tidak membalas pesan Vanya, dan malah kembali sibuk dengan cerita Haris.

Setengah jam kemudian, Kamila, mama Vanya pulang dari Butik. Wanita paruh baya itu mengernyit saat mendapati pemuda asing di ruang tamunya sedang bercakap-cakap dengan sang suami.

"Ini Gilang, Ma. Temannya Zheva. Dia yang selama ini pulang berangkat bareng sama anak kita." Haris memperkenalkan Gilang ketika cowok itu mencium punggung tangan Kamila.

"Oh, Gilang. Temannya Vanya? Cuma teman? Bukan pacar?" Kamila tersenyum sumringah.

Gilang ikut tersenyum, "Iya tante. Temannya Vanya. Teman sekelas."

"Gilang cakep ya, Pa." Kamila tertawa renyah diikuti suaminya, "Tante makasih banget loh kamu sudah mau berteman sama anak tante yang manja itu. Sampe mau berangkat sama pulang sekolah bareng. Eh, tapi kamu beneran cuma temennya Zheva?"

"Ma." Haris menegur.

Kamila mencebik, "Ya kan kali aja mereka pacaran tapi nggak berani bilang sama kita, Pa. Eh tapi si Zheva mana? Kok ada temennya malah ditinggalin?"

"Di kamarnya. Tau tuh, dari tadi ganti baju nggak keluar-keluar."

"Yasudah, mama panggilin dulu ke atas."

"Eh, nggak usah tante. Nggak apa-apa. Saya juga mau pulang kok ini."

"Lho, kok buru-buru?" Kamila tidak bisa menyembunyikan nada kecewanya. "Padahal tante masih pingin ngobrol sama kamu."

Gilang tersenyum, "Iya tante. Lain kali saya main lagi ke Rumah Vanya. Tapi sekarang saya harus pulang, sudah sore." Akhirnya Gilang pulang ke rumah saat jam sudah menunjukkan pukul lima sore.

Sampai rumah, cowok itu langsung bergegas mandi, sholat maghrib, kemudian makan malam bersama orang tuanya. Tak ada perbincangan serius ketika makan malam. Ayah Gilang, yang kebetulan baru pulang setelah sepuluh hari ke luar kota mengurus kasus kliennya hanya membahas dan bertanya tentang keadaan rumah dan sekolah Gilang. Beruntung, ketika cowok itu pulang dengan wajah babak belur minggu lalu, sang ayah sedang tidak ada di rumah. Bundanya juga diam saja, tidak mengadu. Karena kalau sampai Arman Prastyo tau anaknya terlibat perkelahian, bisa tamat riwayat Gilang.

Glass BeadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang